Indoktrinasi Salafi-Wahabi dari Kajian Keagamaan ke Lembaga Pendidikan
Salafusshalih.com – Pada tulisan sebelumnya, Memotong Silat Lidah Tokoh Salafi: Dari Wahabi ke Salaf ke Islam Murni, telah disinggung bahwa Wahhabisme, baik yang bersilat Salafi atau yang bersilat lidah sebagai Islam murni, punya dua agenda yakni penyucian (tasfiyah) dan lalu pendidikan (tarbiyah). Bagian ini, tidak seperti edisi pertama yang bertolak dari analisis teoretis, akan membahas Salafi di lapangan. Selain silat lidah, faktanya mereka juga bermain indoktrinasi, pengajian dan sekolah.
Salafi bukan gerakan sosial. Karenanya, untuk menyingkap rahasia (baca: propaganda) mereka, teori gerakan sosial tidak akan menemukan hasil. Salafi adalah gerakan ideologi yang orientasinya, paling tidak, ada dua: dekonstruksi dan rekonstruksi. Kultur, tradisi, dan ormas keagamaan yang telah mapan, bagi Salafi adalah musuh. Mereka akan mendekonstruksi itu semua untuk satu keperluan, yaitu merekonstruksi masyarakat sesuai cita-cita universal mereka.
Dengan kata lain, Salafi jauh lebih berbahaya daripada musuh-musuh ideologis negara, bahkan melampaui sekat ideologis itu sendiri. Kasus FPI yang terlibat terorisme, beberapa waktu lalu, padahal FPI tidak berideologi teror, adalah bukti konkret bahwa Salafi bukan hanya ahli bersilat lidah, melainkan juga ahli menyusup. Pada kasus FPI, NII adalah dalangnya. Mereka masuk ke tubuh FPI, dan prinsip nahi munkar-nya dimanfaatkan untuk mobilisasi terorisme.
Indoktrinasi Salafi melalui kedua proses tadi, tasfiyah dan tarbiyah, jelas dilakukan secara gamblang. Parahnya, sejumlah Muslim dengan basis keagamaan yang rendah tidak menyadarinya—bahkan tidak akan terima jika berusaha dibenarkan. Tasfiyah, yakni penyucian, mengejawantah sebagai tradisi menyalahkan orang lain yang beda sembari membuat klaim imajiner bahwa dirinya berada di pihak yang benar. Bid’ahisasi dan takfirisasi masuk ke bagian ini.
Sementara, tarbiyah, itu medannya di majelis-majelis. Sejenis kajian yang di dalamnya berisi indoktrinasi paham-paham Salafi. Dengan kehadiran yang rutin, seseorang yang sebelumnya sudah di-tasfiyah sangat mudah untuk terperosok, lalu menjadi anggota baru mereka. Dalam tarbiyah, seseorang dididik dari awal—seolah sebelumnya yang bersangkutan tidak paham atau pahamnya salah dan sesat—apa itu Islam, tauhid, iman, kafir, dan sebagainya.
Kasus Faktual
Sekarang mari bertolak ke kasus lapangan. Di salah satu pelosok pulau Madura, ada yayasan pendidikan yang sudah berdiri sejak lama. Dan sebagaimana umumnya masyarakat Madura, mazhab mereka adalah Aswaja NU. Tradisi tahlilan, istighatsah, dan Maulid Nabi, menjadi amalan rutin yang lumrah dilakukan. Di sini tidak akan disebutkan lokasi persisnya. Yang jelas, ini kasus faktual bahwa indoktrinasi di pengajian dan sekolah itu sangat nyata.
Lima tahun lalu, seorang guru diketahui menjadi anggota Salafi. Atau, seperti dalam konteks silat lidah seperti dijelaskan pada tulisan pertama, mereka mengaku mengikuti Islam murni dari salaf al-shalih. Tetapi yayasan tidak mengetahui ideologi orang tersebut, hanya diketahui oleh salah satu guru. Baru terkuak sekarang, setelah lima tahun berselang, sudah ada lima guru lain yang berhasil direkrut dan, parahnya, yayasan tersebut tengah mau di-Salafi-kan.
Ceritanya begini. Di luar yayasan, mereka punya majelis pengajian. Majelis tersebut rutin dan istiqamah menggelar kajian. Mudah untuk ditebak, kelima guru tadi adalah produk majelis tersebut, dan target berikutnya adalah para siswa di yayasan itu. Ada beberapa bukti. Pertama, siswa dicekoki ajaran-ajaran puritan yang mudah membid’ahkan dan mengharamkan segala yang berbeda. Siswa dilarang melakukan ini-itu dengan satu dalil: itu sesat.
Kedua, sekelompok guru tersebut enggan mengikuti upacara bendera yang telah menjadi aktivitas rutin setiap hari Senin. Dalilnya, kedaulatan yang harus dihormati hanyalah Allah, sementara hormat pada bendera adalah bentuk kemusyrikan. Ketiga, saat pemilihan OSIS, para guru yang terjangkit Salafi tersebut melarang pemilihan terbuka yang demokratis. Mereka menuntut para siswa menggunakan sistem musyawarah versi mereka.
Dari sekolah, indoktrinasi berlanjut ke pengajian lagi. Siswa yang terindikasi melanggar aturan, sanksinya adalah mengikuti pengajian di majelis mereka. Terus begitu, dengan pelan, tersembunyi, tetapi masif. Jadi ada alur menarik di sini. Para guru terjangkit melalui pengajian, lalu membawa doktrinnya ke sekolah, kemudian membawa sekolah tadi ke pengajian juga. Ini adalah Wahhabisasi atau Salafisasi paling efektif dan susah ditindak.
Indoktrinasi dari pengajian ke sekolah lalu ke pengajian tersebut berlangsung setiap hari, dan yayasan tidak bisa bertindak banyak. Para guru yang sudah terjangkit adalah guru yang berpengaruh di sekolah tersebut. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah, mereka membatasi aktivitas siswa, atau membiarkan mereka semuanya secara rombongan menjadi Ahlul Bid’ah wa adh-Dhalalah.
Ahlul Bid’ah wa adh-Dhalalah
Mengapa antipati terhadap Salafi-Wahhabi adalah sesuatu yang urgen? Bukankah mereka hanya mengajarkan tentang kemurnian Islam? Pertanyaan ini banyak muncul bagi mereka yang ditegur karena ikut Salafi, sementara mereka mulai terseret ke dalamnya. Indoktrinasi melalui pengajian dan sekolah tadi, perlu diingat, harus diantisipasi bukan karena kemurnian tersebut, melainkan dampaknya yang buruk, yaitu si korban jadi suka membid’ahkan dan menyesatkan.
Misalnya saja, masalah Maulid Nabi. Pertanyaannya sangat sederhana: apa yang salah dari membaca shalawat berjemaah dalam satu majelis? Mengapa Salafi-Wahhabi sangat membenci dan mencaci maki orang yang merayakan kehiran Nabi? Taruhlah mereka tidak suka, apakah harus mencela yang berbeda? Mengapa harus ikut campur amaliah orang lain? Ini ada yang tidak beres. Kebencian mereka yang mengatasnamakan kemurnian Islam adalah kebencian nafsu belaka.
Yang seperti ini jelas sangat meresahkan karena mengancam kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman. Indonesia yang sejak era Walisongo sudah dikenal sebagai masyarakat toleran, sekarang sudah mulai terkena dampak buruk Wahhabisme yang merupakan agenda jahatr Arab Saudi ini. Masyarakat yang sudah Islam, pemahamannya didekonstruksi oleh Salafi, lalu direkonstruksi keislaman versi mereka yang kasar dan suka mencela.
Dalam konteks kasus tadi, iklim sekolah menjadi tidak inklusif lagi. Bahkan, para guru tersebut menuntut siswa menggunakan cadar. Islam yang sudah berpuluh tahun dengan tradisinya yang baik, dibid’ahkan dan disesatkan sebagai bentuk penyucian (tasfiyah), lalu dibangun lagi Islam yang murni menurut mereka sebagai bentuk didikan (tarbiyah). Melalui kedua agenda tersebut, seluruh umat Islam tengah hendak diseret untuk menjadi Ahlul Bid’ah wa adh-Dhalalah.
Akhir dari tulisan ini, kuncinya adalah kehati-hatian. Cukuplah menjadi Muslim Indonesia, yang toleran, yang cinta damai, dan terbiasa dengan perbedaan. Islam puritan produk Arab Saudi semacam itu mesti dijauhi. Sejatinya mereka tidak lebih dari antek-antek Wahhabi, yang mengeksploitasi ulama salaf al-shalih dan Islam sebagai senjata mereka menipu umat. Salafi-Wahhabi adalah Muslim zionis yang lebih buruk dan berbahaya daripada zionis Yahudi.
(Redaksi)