Haji dan Humanisme, Apa Kaitannya?
Salafusshalih.com – Salah satu fenomena yang muncul belakangan ini adalah menghadapkan Islam dengan humanisme, terutama dalam konteks Covid 19. Salah satunya tampak dari ungkapan: “Jangan takut pada Covid 19, tapi takutlah kepada Allah”. Maka, keharusan menjalankan protokol Covid pun ditolak sebagian Muslim, khususnya yang terkait ibadah, meski ditolak kalangan Islam mainstream.
Dalam sejarah Islam di Indonesia, membenturkan Islam dengan humanisme juga sudah terjadi sejak awal abad ke-20 seperti tampak dalam Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA. Bagi HAMKA, nyawa lebih penting ketimbang keharusan menegakan larangan agama mencium lawan jenis yang bukan mahram demi memberi nafas buatan kepada yang tenggelam. Tentu saja beberapa pelanggaran HAM di dunia Islam juga memperlihatkan hal yang sama.
Humanisme dalam Haji
Dalam haji ada banyak sisi humanisme dalam pengertian paham yang meyakini bahwa semua manusia mempunyai human rights, hak-hak yang dimiliki manusia secara otomatis sejak lahir sebagai pemberian Tuhan, tanpa dibeli dan diwariskan/disewakan, yang tanpa kehadiran hak-hak itu, manusia tidak bisa hidup layaknya manusia bermartabat. Manusia pun bukan saja mempunyai hak hidup biologisnya, melainkan hak untuk memenuhi tuntutan hati, dan akal pikirannya, dua hal yang membuat manusia istimewa, berbeda dengan hewan.
Humanisme dalam haji tampak dari pengertian istithâ’ah (mampu berhaji) sebagai syarat wajibnya haji. Seorang Muslim, karenanya, tidak boleh haji, kecuali sehat badannya, karena ibadah haji adalah ibadah yang banyak bertumpu terhadap kesehatan badan. Haji juga hanya wajib bagi mereka yang punya biaya transportasi, pergi dan pulang, dan bekal material selama berada di Mekah dan Madinah. Bahkan, haji tidak boleh dilakukan, jika tidak ada uang nafkah bagi keluarga yang ditinggal haji.
Bahkan, pengertian mampu berhaji kini menjadi luas, termasuk di dalamnya adanya kuota haji dan dimungkinkan/tidaknya ibadah haji dilangsungkan. Hak hidup dan hak ekonomi dalam konsepsi mampu berhaji ini sangat tampak, sebagaimana doa yang dianjurkan Allah untuk dibaca setelah prosesi haji selesai, yaitu agar diberi kebaikan di dunia/kekayaan material dan kebaikan di akhirat/ruhaniah (lihat QS. 2: 201).
Humanisme dalam haji juga tampak dari permulaan prosesi ibadah dengan keharusan mengenakan pakaian ihram serba putih, dari atas hingga bawah. Pakaian itu harus sederhana, sekedar menutup aurat, karena umumnya dari handuk atau kain putih, tanpa ada yang dijahit. Pakaian ihram pun tidak seperti umumnya pakaian seperti baju dan celana yang menutup tubuh manusia yang membuat manusia menjadi modis, bahkan membanggakan pemakainya seperti dari sutra yang mahal. Juga tanpa menutup kepala, simbol seperti peci haji atau bahkan mahkota yang menujukkan kekuasaannya. Jika melakukan salah satu dari keduanya, maka akan terkena denda (dam), jika hajinya ingin sah.
Selain mengingatkan pada hanya kain kapan yang dibawa saat kematian tiba, pakain haji (ihram) memperlihatkan bahwa dalam Islam, semua manusia sama, sebagaimana yang disebut Nabi dan al-Qur’an. Manusia pun dalam haji tidak dibedakan berdasarkan harta (kekayaan) dan tahta/pangkat (status sosialnya) atau suku bangsanya. Haji, karenanya menekankan persamaan antar manusia, sesuatu yang hingga kini masih masalah. Di Barat kontemporer sekalipun, sebagaimana tampak dari fenomena ultranasionalisme/supremasi kulit putih.
Meskipun begitu, Islam/haji tidak menganut persamaan total antar manusia seperti dalam komunisme. Islam menganut prinsip meritokrasi, yaitu memberi reward kepada mereka yang berprestasi, dan memberi punishment kepada mereka yang salah atau tak berprestasi. Semacam persamaan dalam perbedaan. Maka, tidak semua orang diterima hajinya. Haji yang dibalas dengan surga hanyalah haji mabrur, yaitu haji yang penuh kebaikan dari awal berangkat hingga pulang, dimana harta yang digunakan berhaji adalah harta halal.
Bahkan, penuh kebaikan hingga hidup normal di negara asalnya, dimana kehidupannnya mengalami transformasi menjadi lebih baik secara hati dan amal. Selain karena niat haji yang tulus karena Allah, bukan selainnya, juga harus memenuhi syarat dan rukunnya dan banyak melakukan hal-hal sunah haji. Jika tidak mabrur, maka yang diterima adalah haji maqbul (yang diterima Alah) yang kualitasnya lebih rendah ketimbang mabrur. Dalam bahasa QS. al-Hujurat/49: 13, Allah membedakan manusia atau para haji dari ketakwannya.
Dalam haji juga terdapat sisi kemerdekaan dan pembebasan manusia. Dalam haji, saat niat ihram untuk ibadah haji dengan mengenakan pakain ihram itu, haji harus dilakukan hanya karena Allah semata, sebagaimana telah disinggung di atas. Bukan selainnya. Haji dalam hal ini membebaskan manusia dari belenggu selain Allah, baik harta, maupun tahta, dan cinta. Seorang yang hajinya benar dan baik adalah yang sudah terbebas dari harta yang membelenggu jiwanya.
Misalnya dari sikap tidak mau berbagi dengan sesama (sedekah) demi keadilan ekonomi. Juga terbebas dari tahta. Misalnya terbebas dari beribadah haji karena motif pengakuan sosial dan juga terbebas dari sikap tidak demokratis (berlaku dikatator dan otoriter [tidak berbagi kekuasaan]). Tentu saja juga harus terbebas dari cinta yang membelenggu (memperbudak). Selain dari niat haji, pembebasan manusia dari belenggu selain Tuhan sehingga menjadi seorang merdeka tampak juga dari bacaan talbiyah yang dibaca oleh setiap para haji; ritual melempar tiga kali jumrah agar kaum Muslimin terbebas dari syetan dan juga nafsu berbut zalim; dan bacaan saat tawaf, yaitu tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr, dan hauqalah.
Humanisme tentu saja juga sangat tampak dari ritual wukuf di ‘Arafah sebagai inti haji, di mana tanpa wukuf di ‘Arafah, haji seseorang tidak sah. Di sini, semua orang yang berhaji dari penjuru dunia berkumpul dalam waktu bersamaan. Tempat ini mengingatkan para haji pada bertemunya kembali Adam dengan Hawa setelah lama berpisah karena dosa, yang karenanya, haji menekankan pada cinta sesama manusia, sebagaimana bermalam di Mina setelahnya, termasuk di dalamnya cinta terhadap lawan jenis. Di sini, ajaran Islam yang menekankan persaudaraan sesama Muslim di ‘Arafah juga ditekankan, dimana sejak Nabi hijrah ke Madinah, Nabi membentuk ummah, komitmen berdasarkan agama, bukan darah.
Persaudaraan berdasarkan agama ini mengganti persaudaraan berdasarkan darah yang telah membuat bangsa Arab tercerai berai. Solidaritas komunal muslim ini menurut Watt, menunjukan bahwa Islam memiliki relevansi yang kuat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan, yang karena ummah ini, Islam sempat memimpin dunia beberapa abad.
Namun, ‘Arafah juga menurut Ali Syariati juga berarti ilmu pengetahuan, yang satu derivasi dengan kata ma’rifah. Cinta sesama manusia atau sesama Muslim tentu saja tidak boleh buta, tetapi didasarkan pada ilmu tajribi (empiris), burhani (rasional), terutama ilmu ‘irfani (wahyu/intuisi), yang satu derivasi dengan kata ‘Arafah. Bahkan, mengingat wukuf di ‘Arafah diikuti dengan tinggal sejenak di Masy’ar al-Haram/Muzdalifah, maka cinta kemanusiaan harus disertai dengan kesadaran diri/kebebasan, bukan pemaksaan.
Di ‘Arafah inilah Nabi Muhammad pernah menyampaikan khutbah (pidato) terkenalnya pada waktu melakukan haji wada’ (terakhir), sebagaimana hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Dalam hadis ini, Nabi mengharuskan kaum Muslimin untuk menjaga hak hidup (ad-dimâ’), hak kepemilikan orang lain (al-amwâl), dan hak sebagai manusia yang mempunyai harga diri (martabat [akal dan hati) sepertikebebasan beragama dan berpendapat. Tiga hak ini mempengaruhi Barat lewat Islam di Spanyol Islam. Menurut Nurcholish Madjid, melalui hadis wada’ ini, humanisme (HAM) pertama kali muncul justru dalam Islam, sebagaimana yang juga tampak dalam Piagam Madinah sebelumnya.
Humanisme dalam haji juga tampak dari larangan saat melakukan ibadah haji yang lain, seperti larangan bermusuhan (berantem) dengan sesama teman haji atau bahkan dengan pembantu. Juga: keharusan berusaha untuk hidup lebih baik, baik secara material maupun ruhaniah, dan harmoni bersama masyarakat sekitar (menghormati keragaman) yang disimbolkan dengan thawaf (mengelilingi Ka’bah); sa’i yang secara harfiah berarti berupaya/bersegera (tidak malas) dari shafâ (dimulai dengan niat yang bersih) menuju marwah (hidup bermartabat [hidup mulia]); dan dam (denda) memotong kambing untuk mereka yang berhaji dengan cara haji selain ifrad atau denda karena melakukan larangan haji. Dalam dam haji ada upaya pembebasan manusia secara konsumtif, yang harus dilanjutkan secara produktif. Bahkan, dalam haji juga tampak visi memelihara ekologi, karena setiap para haji dilarang membunuh binatang darat yang ada di Mekah.
(Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.)