Fikih

Hukum Islam Menjawab Krisis Keluarga Modern

Salafusshalih.com – Keluarga merupakan institusi fundamental yang menjadi fondasi pembentukan nilai-nilai sosial, budaya, dan moral suatu bangsa.

Di Indonesia, keluarga tidak hanya berperan sebagai unit sosial, tetapi juga sebagai media utama pembentukan karakter dan identitas nasional. Namun, dalam era modern ini, keluarga menghadapi berbagai tantangan yang mengancam stabilitas dan keberlanjutannya.

Krisis keluarga modern ditandai oleh peningkatan angka perceraian, ketidakharmonisan hubungan rumah tangga, dan perubahan pola peran gender menjadi fenomena yang perlu perhatian serius dari berbagai disiplin ilmu, khususnya hukum.

Dalam konteks tersebut, hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia berpotensi menjadi instrumen penting dalam menangani persoalan keluarga modern.

Hukum Islam tidak hanya mengatur aspek normatif, melainkan juga mengandung nilai-nilai etis dan sosial yang dapat membantu menjaga keharmonisan dan keberlanjutan keluarga.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran hukum Islam dalam menjawab krisis keluarga modern di Indonesia, dengan pendekatan yang kritis dan berbasis data.

Krisis Keluarga Modern Dimensi dan Fakta

Indonesia mengalami perubahan sosial yang cukup signifikan akibat proses modernisasi dan globalisasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 12,5% dibandingkan lima tahun sebelumnya, dengan penyebab dominan adalah konflik internal, perbedaan nilai, dan masalah ekonomi (BPS, 2023).

Selain itu, riset yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menemukan bahwa sekitar 60% perceraian di pengadilan agama disebabkan oleh masalah ketidakharmonisan dan perselingkuhan, yang erat kaitannya dengan pergeseran pola sosial dan peran gender (LeIP, 2022).

Media sosial dan kemajuan teknologi turut berkontribusi mempercepat dinamika ini, seringkali memperlemah komunikasi antar anggota keluarga dan menimbulkan fenomena alienasi emosional.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa keluarga modern menghadapi tantangan yang bersifat multidimensional baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomi.

Oleh karena itu, solusi yang diberikan harus holistik dan responsif terhadap dinamika tersebut.

Sumber Hukum Keluarga

Indonesia mengakui keberadaan hukum Islam sebagai sumber hukum keluarga umat Muslim melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku di peradilan agama.

Hukum Islam mengatur aspek pernikahan, kewajiban suami-istri, hak-hak anak, dan penyelesaian sengketa keluarga secara rinci.

Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang pakar tafsir dan hukum Islam, hukum Islam memegang prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menekankan keadilan dan maslahat (kepentingan umum) sebagai landasan utama.

Ini penting untuk mencegah penindasan dalam keluarga dan menjaga keharmonisan rumah tangga.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur prosedur yang harus ditempuh sebelum perceraian, seperti mediasi, musyawarah, dan sidang isbat talak.

Proses ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi upaya rekonsiliasi sebelum pengakhiran pernikahan, yang sejalan dengan prinsip Islam tentang menjaga institusi keluarga.

Peran Konkret

  1. Mekanisme Pencegahan Perceraian

Hukum Islam mengedepankan mekanisme pencegahan perceraian melalui pendekatan yang humanis dan mediatif.

Talak raj’i, misalnya, memungkinkan suami untuk menarik kembali perceraian dalam masa iddah selama tiga kali qamar, sehingga memberi kesempatan kedua untuk rekonsiliasi (KHI Pasal 45). Hal ini relevan dalam konteks modern yang rentan terhadap keputusan impulsif akibat tekanan sosial dan ekonomi.

  1. Pengaturan Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Menurut KHI Pasal 80–92, suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak, sedangkan istri berkewajiban menjaga kehormatan keluarga.

Pembagian hak dan kewajiban yang jelas ini penting untuk mengatasi konflik akibat perubahan peran gender dan tekanan ekonomi.

Penelitian oleh Nurul Huda (2021) menunjukkan bahwa ketidakseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban sering menjadi akar konflik dalam rumah tangga modern, sehingga implementasi aturan hukum Islam ini menjadi krusial.

  1. Perlindungan Hak Anak

Hukum Islam menempatkan anak sebagai amanah yang harus dilindungi dan diberi pendidikan yang baik. Pasal 85 KHI menegaskan kewajiban orang tua dalam pengasuhan dan pendidikan anak.

Ini menjadi sangat penting dalam konteks meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran anak yang terjadi akibat krisis keluarga (Komnas PA, 2023).

Tantangan dan Peluang

Meskipun hukum Islam memiliki nilai-nilai luhur, implementasinya menghadapi beberapa tantangan. Salah satu hambatan utama adalah perbedaan interpretasi dan kualitas hakim di pengadilan agama, yang berdampak pada inkonsistensi putusan (Komisi Yudisial, 2022).

Selain itu, pengaruh budaya lokal yang beragam menyebabkan praktik hukum keluarga Islam berbeda-beda di tiap daerah. Hal ini memerlukan harmonisasi dan standarisasi agar prinsip keadilan dapat terwujud secara merata.

Namun, peluang besar muncul dari upaya reformasi kelembagaan peradilan agama dan peningkatan literasi hukum keluarga di masyarakat.

Program pelatihan bagi hakim dan penyuluhan hukum keluarga Islam bagi masyarakat terbukti mampu meningkatkan kualitas penyelesaian sengketa (Mahkamah Agung RI, 2023).

Kesimpulan

Krisis keluarga modern di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang memerlukan solusi hukum yang adaptif dan berkeadilan.

Hukum Islam, dengan prinsip-prinsip keadilan, maslahat, dan perlindungan keluarga, memiliki peran strategis dalam menjaga dan memperkuat institusi keluarga.

Optimalisasi peran hukum Islam dalam konteks keluarga modern harus dilakukan melalui peningkatan kualitas implementasi hukum, penyesuaian terhadap perkembangan sosial, dan sinergi dengan sistem hukum nasional.

Dengan demikian, hukum Islam bukan hanya sebagai warisan tradisional, tetapi juga instrumen hukum yang relevan dan progresif dalam menghadapi tantangan keluarga di masa kini.

(R. Arif Mulyohadi)

Related Articles

Back to top button