Hubbul Wathan

Hukuman Mencaci-Maki Pemimpin di NKRI

Salafusshalih.com – Di Arab Saudi, ratusan masyarakat bahkan ulama dieksekusi mati karena menyebarkan narasi anti-pemerintah. Kerajaan Ibnu Saud benar-benar tidak menoleransi kritik. Siapa pun yang berani kritis, apalagi sampai mencaci-maki, nyawa mereka akan hilang. Menghina pemimpin bak dosa terbesar yang tidak ada ampunannya. Melalui jurus tersebut, selain berhasil mempertahankan kerajaan, Arab Saudi juga sukses membungkam para pengkritik.

Apakah yang Arab Saudi lakukan itu baik? Apakah setiap kritik perlu dibungkam? Jawaban atas pertanyaan ini subjektif, namun yang jelas tidak semua kritik apalagi yang berbau caci-maki itu bisa dibiarkan. Artinya, tidak semua kebijakan Arab Saudi dapat dibenarkan karena otoriter. Tetapi juga tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Sebab jika dibiarkan, kritik akan meluas jadi caci-maki dan hinaan. Maka harus ada hukuman yang layak untuk itu.

Baru-baru ini, budayawan Cak Nun viral karena mencaci-maki Jokowi dan Luhut sebagi Fir’aun dan Haman. Permisalan tersebut didasarkan pada sosok Jokowi yang ia anggap otoriter dan Luhut yang berkuasa tinggi atas semua kebijakan presiden. Meski Cak Nun sudah klarifikasi dan meminta maaf, perdebatan kadung bergulir antara pro dan kontra. Statement tersebut bahkan dibawa ke ranah hukum dan hukuman yang pas untuk Cak Nun mungkin sudah disiapkan.

Namun, apa hukuman yang pas untuk orang yang mencaci-maki pemimpin? Baik dalam konteks Cak Nun maupun yang lainnya, ada tiga tahapan hukuman yang laik bagi pencaci-maki pemimpin.

Pertama, beri peringatan. Peringatan bisa datang dari orang terdekat maupun otoritas berwajib. Secara non-formal, peringatan bisa berupa nasihat, wejangan, atau lainnya. Di ranah formal, ia mewujud sebagai surat peringatan (SP) kepada yang bersangkutan untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya. Mencaci pemimpin bukan hal terpuji, sekalipun yang disampaikannya memiliki argumentasi yang kuat. Peringatan merupakan langkah paling awal dari sebuah hukuman.

Kedua, beri tindakan. Penindakan merupakan tahapan kedua yang bisa berupa penahanan yang bersangkutan. Cak Nun, misalnya, andai saja tidak minta maaf dan klarifikasi, laik untuk ditahan sementara lalu diinterogasi mengenai ucapannya. Sebab, caci-maki itu punya dua faktor. Boleh jadi ia merupakan hasil inisiatif sendiri karena kebencian tertentu. Boleh jadi juga karena dipengaruhi orang lain, terutama oleh kelompok anti-pemerintah dan anti-NKRI.

Ketiga, beri pembinaan. Jika peringatan dan tindakan juga tidak mempan, hukuman berikutnya bagi mereka yang mencaci-maki pemimpin adalah pembinaan. Dalam tahap ini, hukuman dilakukan di lembaga pemasyarakatan tertentu yang memungkinkan seseorang jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Rentang waktu hukuman ini beraam, sesuai dengan putusan hakim dan bersifat konstitusional. Hukuman dalam rangka membina ini paling populer.

Apakah ketiga hukuman tersebut represif? Tidak. Di NKRI, kebebasan berpendapat terbuka seleber-lebarnya. Namun hal tersebut tidak selaiknya dimanfaatkan untuk sesuatu yang tidak terpuji. Maka untuk menghindari itu, perlu ada rambu-rambu konstitusional yang bisa mengontrol kondusivitas masyarakat. Apalagi seorang pesohor yang tanpa undang-undang pun, mereka punya beban moral untuk berkata baik karena segala ucapannya akan ditiru masyarakat.

Adalah benar, pemimpin di NKRI tidak otoriter seperti Kerajaan Arab Saudi. Namun, bukan berarti mencaci-maki pemimpin menjadi sesuatu yang legal. Caci-maki adalah sesuatu yang buruk dalam seluruh substansinya. Jangankan terhadap sesuatu yang hoaks seperti permisalan Jokowi sebagai Fir’aun, sesuatu yang jelas kebenarannya pun jika diperjuangkan melalui caci-maki akan menjadi buruk total. Maka, hukuman adalah hal niscaya yang tidak bisa ditawar.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button