Non Muslim Jadi Petugas Haji, Bolehkah?

Salafusshalih.com – Ramai diperbincangkan warganet, Dominggus, S.Th, dan Yohanes Salu Tandi Allah, S.Ag, yang menjadi haji”, petugas haji 2024 Kemenag Kota Parepare Sulawesi Selatan. Pasalnya kedua orang tersebut adalah berlatar belakang non-Muslim. Kemenag setempat pun mengklarifikasi, pada hari Sabtu tanggal 18 Mei 2024, bahwa keduanya hanya sebatas menjadi panitia pemberangkatan dan pemulangan saja dan hanya mengantar sampai kepada Embarkasi UPG di Asrama Haji Sudiang.
Bukan sebagai petugas haji yang diberangkatkan ke Makkah. Berita ini sempat menjadi polemik di kalangan masyarakat bahkan sampai mengalami penolakan oleh warganet di media sosial. Dengan adanya polemik ini perlu penjelasan pada masyarakat Indonesia yang belum memahami hukum non-Muslim memasuki tanah haram Makkah atau bahkan Masjidil Haram.
Perlu diketahui bahwa petugas haji dikenal dengan akronim PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) dan TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia). Dari kepanjangan singkatan itu, sudah bisa difahami bahwa mereka yang bertugas menjadi panitia haji 2024 adalah untuk memberikan pelayanan kepada jemaah haji Indonesia selama proses ibadah haji. Pelayanan ini dilakukan mulai dari keberangkatan hingga jemaah kembali pulang ke Tanah Air.
Ditjen PHU Kemenag Arsyad Hidayat pun menjelaskan bahwa tugas utama PPIH adalah memberikan pelayanan dengan sepenuh hati kepada jemaah haji dan bukan untuk berhaji. Meskipun boleh-boleh saja mereka bertugas sambil berhaji.
Jika saja tugas utama dari panitia penyelenggara ibadah haji adalah murni pelayanan maka sebenarnya boleh-boleh saja bagi non-Muslim untuk ikut serta menjadi petugas dan melayani para jemaah haji, semisal menjadi tenaga medis. Meskipun dia sendiri tidak berhaji karena notabene adalah non-Muslim yang tidak diwajibkan untuk melaksanakan rukun Islam. Problematika yang paling krusial adalah bagaimana nantinya ketika petugas ini sampai ke Makkah yang merupakan tanah haram dengan segala keistimewaan dan kemuliaannya.
Seperti diketahui, sebagian ulama menghukumi bahwa non-muslim tidak diperbolehkan memasuki Makkah. Ini seakan menjadi penghalang bagi tenaga medis non-Muslim untuk mendampingi pelayanan jemaah haji. Jika dikembalikan kepada dialektika fiqih Islam lintas madzhab, problematika non-Muslim memasuki Masjidil Haram masih menjadi perdebatan antara boleh dan tidaknya.
Al-Zuhaili menulis problematika ini dalam bukunya sebagai berikut:
أَجَازَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ لِلْكَافِرِ دُخُوْلَ الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا، حَتَّى الْمَسجِدِ الحَرَامِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ، وَلَوْ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَأَجَازَ الْمَالِكِيَّةُ لِغَيْرِ الْمُسْلِمِ دُخُوْلَ الْحَرَمِ الْمَكِّي، دُوْنَ البَيْتِ الحَرَامِ، بِإِذْنٍ أَوْ أَمَانٍ. وَلَا يَجُوْزُ عِنْدَهُمْ مُطْلَقًا دُخُوْلُ الكافرِ مَسْجِدًا، وقال الشافعيةُ والحنابِلَةُ : يُمْنَعُ غَيْرُ الْمُسْلِمِ، ولَوْ لِمَصْلَحَةٍ مِنْ دُخُوْلِ حَرَمِ مَكَّةَ، ويجُوْزُ عِنْدَهُمْ للكافِرِ لِحَاجَةِ دُخُوْلِ الْمَسَاجِدَ الأُخْرَى غَيْرِ الْمَسْجِدِ الحَرَامِ، بِإِذْنِ المسلمِيْنَ؛
Artinya: “Imam Abu Hanifah memperbolehkan bagi non-Muslim untuk masuk seluruh masjid di muka bumi bahkan Masjidil Haram meskipun tanpa izin dan tanpa kepentingan. Mazhab Malikiyah memperbolehkan bagi mereka untuk memasuki tanah haram Makkah selain Masjidil haram dengan izin dan standar keamanan, dan tidak boleh masuk masjid secara mutlak. Mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali melarang mereka memasuki tanah Haram Makkah meskipun atas dasar kemaslahatan, boleh bagi mereka masuk masjid selain Masjidil Haram dengan izin masyarakat Muslim”. (Wahbah bin Musthada al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, 2020], juz 3, hal. 585.).
Hal ini merupakan penjelasan dari firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 28:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَاۚ وَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٢٨
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwanya). Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Menurut al-Zuhaili, interpretasi Abu Hanifah tentang ayat ini adalah larangan berhaji bagi non-Muslim dan larangan umrah dengan telanjang setelah musim haji tahun 9 Hijriyah. Sedangkan alasan mazhab Maliki serta dua mazhab setelahnya adalah klaim kenajisan non-Muslim sehingga mereka dilarang untuk memasuki Masjidil Haram sesuai dengan ayat tersebut.
Terlepas dari syarat umum menjadi petugas haji seperti harus beragama Islam dan faktor kurang etis ketika non-Muslim menjadi petugas haji dan melayani kebutuhan haji umat Islam, maka masyarakat tidak perlu heboh dan membesar-besarkan masalah ini hingga mendatangkan kecaman bagi kemenag setempat.
Pasalnya, jika saja mereka bisa lolos menjadi PPIH masih ada pendapat Imam Abu Hanifah yang lebih fleksibel bagi non-Muslim untuk bisa masuk dan berinteraksi di dalam Masjidil Haram. Penolakan dan kecaman pada hal ini sebenarnya lebih tidak etis. Mengingat problematika ini tidak keluar dari jalur furu’iyah ijtihadiyah yakni problematika ijtihadi yang masih membuka ruang perbedaan pendapat bahkan pro-kontra. Wallahu a’lam bisshawab.
(Redaksi)