Pajak; Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?
Salafusshalih.com – Dalam Islam salah satu kewajiban yang harus dibayarkan atas kepemilikan harta adalah membayar zakat. Seorang Muslim diwajibkan membayar zakat apabila telah memenuhi nisabnya (ukurannya). Namun demikian dalam konteks bernegara, tentunya seorang muslim yang juga merupakan warga suatu negara juga diwajibkan untuk membayar pajak. Pajak ini tentunya digunakan oleh negara untuk kemaslahatan dan pembangunan. Lantas bagaimana hukum membayar pajak dalam Islam?
Banyak tersebar meme dan informasi yang disebarkan oleh beberapa orang Islam tentang haramnya orang membayar pajak dan haram juga bekerja di kantor perpajakan. Dan untuk mengetahui hukum membayar pajak ini penulis sadurkan pendapat mufti Mesir, Prof. Dr. Syauqi Allam.
Prof. Dr. Syauqi Allam berpendapat sebagai warga negara tidak diperbolehkan lari dari kewajiban membayar pajak dan juga tidak diperbolehkan juga menyuap petugas pajak agar jumlah pajak yang harus dibayarkan tersebut berkurang.
Beliau menyatakan bahwa membayar pajak adalah bentuk ibadah kepada Allah sebagai wujud implementasi kepatuhan kepada pemimpin negara dalam hal kebenaran, kebaikan dan pembangunan. Beliau menuliskan, “Membayar pajak adalah bentuk ketaatan kepada undang-undang yang dirumuskan oleh waliyul amri (pemimpin negara) dan kita diperintahkan untuk menaatinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah”
Membayar Pajak Dalam Islam Diperbolehkan
Prof. Dr. Syauqi Allam menyatakan bahwa Islam tidak melarang negara mewajibkan pajak kepada rakyat. Dalam Islam ditetapkan bahwa di dalam harta seorang muslim ada hak di luar zakat. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh firman QS. Al-Baqarah ayat 177
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan Shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Pada ayat di atas, disebutkan bahwa “memberikan harta yang dicintainya” dan “menunaikan zakat” sehingga ini membuktikan bahwa ada hak lain di luar zakat atas setiap harta kekayaan.
Dalam Islam sendiri, pemungutan pajak ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali berijtihad mengenakan pungutan dari harta selain zakat untuk tujuan mewujudkan kemaslahatan umum, seperti pajak tanah.
Pajak tanah wajib dibayarkan oleh setiap orang yang memiliki tanah wajib pajak yang berkembang, entah itu seorang muslim ataupun kafir, anak kecil atau orang dewasa, berakal atau orang gila, laki-laki ataupun perempuan. Yang demikian ini karena pajak merupakan beban tanah yang sifatnya berkembang. Dan perolehan mereka dari berkembangnya tanah itu dianggap sebanding.
Kewajiban pajak tanah yang dikenakan oleh Umar bin Khattab adalah untuk kemaslahatan umum. Seperti kebutuhan untuk menemukan sumber keuangan yang stabil bagi umat Islam lintas generasi dan pendistribusian kekayaan tidak terbatas pada kelompok tertentu, serta pengelolaan tanah dengan pertanian dan tidak menelantarkannya.
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa membayar pajak dalam Islam diperbolehkan. Wallahu A’lam Bishowab.
(Ahmad Khalwani)