Politik Moderasi ala Peter Berger : Beragama Tanpa Menjadi Fanatik
Salafusshalih.com – Peter Ludwig Berger merupakan seorang profesor sosiologi dan teologi di Universitas Boston Amerika Serikat. Studi-studinya lebih fokus pada sosiologi agama dan sosiologi pengetahuan. Karyanya yang paling populer yakni The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, yang mengulas mengenai bagaimana suatu pengetahuan dapat hadir di masyarakat dan menjadi suatu kesadaran subjektif individu.
Sedangkan studi-studinya tentang agama dapat ditemui dalam karyanya yakni The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion, yang banyak mengulas kehidupan agama di dunia Barat seperti sekularisasi dan trend-trend agama di dunia.
Di sebuah proyek dari Institute of Culture, Religion, and World Affairs di Boston University, Berger menerbitkan sebuah buku bersama kawannya yang berlatarbelakang filsafat yakni Antonius C. Zijderveld. Mereka berdua menghasilkan sebuah buku yang berjudul In Praise of Doubt: How to Have Convictions Without Becoming a Fanatic, yakni buku yang menjelaskan konsep “politik moderasi” sebagai jawaban atas berbagai problem dualisme dalam beragama yang menjadi perdebatan tiada henti hingga saat ini.
Secara spesifik Berger menjelaskan bahwa politik moderasi merupakan jawaban atas berbagai dinamika relativisme dan fundamentalisme, ataupun keraguan dan kepastian dalam beragama. Sebelum itu, kita perlu tahu apa yang dimaksud oleh Berger mengenai beberapa konsep yang cukup problematis tersebut.
Relativisme dan Fundamentalisme
Terkait relativisme, Berger memahaminya sebagai sebuah fase baru dalam sejarah agama, dimana individu tidak hanya menghormati dan mengakui kebebasan dalam berkeyakinan, melainkan juga memberikan ruang kebenaran pada “yang lain”. Namun, menurut Berger relativisme secara epistemologis justru cacat dan berbahaya secara politik.
Pasalnya, dengan mengacu pada sosiolog klasik yakni Durkheim, bahwa dalam konteks ini sebuah masyarakat tidak dapat dipersatukan tanpa adanya nilai bersama, atau yang ia sebut sebagai “kesadaran kolektif”. Masyarakat yang sangat relativis justru tidak memiliki kesadaran kolektif atas dasar nilai bersama, pasalnya semua nilai secara relativis hadir dan eksis di masyarakat tersebut.
Sedangkan untuk fundamentalisme, Berger membaginya menjadi dua berdasarkan skalanya, yang keduanya juga sama-sama bahaya. Di skala makro, fundamentalisme disebut sebagai “reconquista” (penaklukan kembali), yang berarti sebuah usaha untuk mengambil alih dan memaksa keyakinan seluruh masyarakat sesuai dengan keyakinan kelompok fundamental. Tentu saja, reconquista ini sangat berbahaya, di sisi lain dari segi internal sendiri reconquista justru akan memakan biaya ekonomi dan sosial yang besar karena skalanya yang makro.
Berbeda dengan skala makro, untuk di skala mikro, fundamentalisme disebut Berger sebagai “subkultur” atau “sektarian”, yang mengabaikan keyakinan orang lain dan membiarkan masyarakat luas masuk “neraka” karena kesalahannya sendiri. Kalau boleh dikatakan sektarian atau subkultur ini acuh dan cuek dengan keyakinan orang lain.
Kaum fundamentalis sektarian lebih menekankan keyakinan mereka dalam komunitas kecil. Namun, lagi-lagi kelompok sektarian ini juga memiliki kelemahan yakni dapat merusak kohesi sosial yang berakhir pada balkanisasi.
Kepastian dan Keraguan
Berger mengacu pada seorang psikolog sosial asal Jerman yakni Arnold Gehlen, bahwa kepastian itu mengalami institusionalisasi. Maknanya kepastian tidak hanya sesuatu yang diterima begitu saja oleh masyarakat, namun ia juga ditransmisikan dari generasi ke generasi yang disebutnya sebagai “kepastian jinak.”
Orang dengan penganut kepastian, atau bisa juga disebut orang yang percaya sejati dengan keyakinannya, maka akan menganggap keraguan sebagai suatu kemurtadan. Namun, orang dengan prinsip yang demikian, bisa saja seseorang justru jatuh pada fundamentalisme, kepastian yang buta, dan jauh dari relativisme.
Berkebalikan dengan itu, keraguan atau meragukan sesuatu pada titik tertentu memiliki fungsi sosial, misalnya untuk mengindari kepastian buta dan “membongkar” kemapanan yang mungkin sebelumnya tidak disadari, khususnya dalam intitusi agama. Namun, keraguan tanpa batas sedikitpun juga justru menjadi petaka, pasalnya akan meninggalkan kepastian itu sendiri. Keraguan berlebih adalah bentuk subjektivisme yang sia-sia dan perenungan tiada henti dalam berbagai pilihan, bahkan hilangnya kepastian untuk bertindak.
Politik Moderasi
Untuk mengatasi berbagai dualisme tersebut, khususnya dalam hal berkeyakinan, Berger akhirnya memunculkan sebuah konsep politik moderasi. Melalui politik moderasi ini akan mampu mengakomodasi keraguan dalam batas tertentu dan mampu berkomitmen dalam kepastian nilai-nilai keyakinan tertentu. Pasalnya, politik moderasi merupakan “posisi tengah”.
Berger memberikan tujuh aspek untuk menjadi “posisi tengah” diantara; 1) Relativisme dan fundamentalisme, dapat dilakukan dengan melakukan “kompromi kognitif” (sebuah istilah yang digunakan Berger untuk menyebut dialog antar kelompok); 2) Keterbukaan histori dan kultural antar kelompok; 3) Mengimbangkan penolakan pada relativisme dan juga fundamentalisme; 4) Keraguan dapat bernilai positif tertentu dalam komunitas kepercayaan; 5) “orang lain” yang berbeda tidak selalu musuh; 6) Perlunya pengembangan dan pemeliharaan institusi sipil untuk diskusi damai dan resolusi konflik; 7) Penerimaan pada setiap pilihan yang diambil oleh seseorang.
Sehingga dalam hal ini politik moderasi sangat menentang fanatisme dengan tanpa menjadi fanatik itu sendiri. Pasalnya, hari ini banyak kelompok yang menentang bentuk fanatisme, namun secara tidak langsung tanpa disadari dirinya sendiri justru jatuh pada fanatisme itu sendiri. Berger memberikan contoh tiga tokoh yang menerapkan politik moderasi dalam perjuangan melawan apartheid di Afrika Selatan yakni Nelson Mandela, Helen Suzman dan Desmond Tutu.
Selain itu, dalam politik moderasi juga sangat menjunjung kebebasan yang bernilai positif untuk bertindak secara kreatif di semua bidang dalam rangka penjunjungan martabat manusia. Dan, Berger menemukan hal ini di kebanyakan agama besar di dunia. Misalnya, dalam tradisi Islam yang menyetarakan semua manusia tanpa ada kelas di mata Tuhan.
Melalui berbagai gagasan filosofis dan sosiologisnya, dapat dikatakan bahwa Berger mengajak kita, khususnya masyarakat dengan tipikal pluralitas seperti Indonesia untuk menjadi individu yang memiliki keyakinan namun tidak terjerumus dalam fanatisme. Kita diajak untuk menjadi individu yang moderat yang mampu mengakomodir keraguan untuk dapat bersikap reflektif, namun tidak menyingkirkan begitu saja kepastian-kepastian nilai keyakinan yang telah dianut. Sehingga kita tidak terjebak dalam relativisasi yang kian marak di era modernitas, maupun sikap fundamentalis yang juga menjadi tantangan bagi kebanyakan penganut agama.
(Mohammad Maulana Iqbal)