Politik Sebatas Menang-Kalah Bukan Benar-Salah, Benarkah?
Salafusshalih.com – Kemarin saya ngobrol dengan teman yang bekerja satu kantor dengan saya. Obrolannya tak lain dan tak bukan adalah soal politik. Lebih tepatnya kisruh politik pasca Pemilu 2024. Katanya, jalan politikus itu berbeda dengan jalan akademisi. Politikus itu tidak kenal benar-salah, yang penting menang. Berbeda dengan akademisi yang lebih menekankan kebenaran di atas segalanya.
Sebelum melangkah lebih jauh penting saya mengetengahkan apa itu benar? Dalam filsafat konsep benar itu cukup luas. Tapi, yang saya setuju dari pendapat pakar, bahwa benar itu adalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta. Dalam konteks politik, Pemilu dianggap benar jika pemenangnya memperoleh suara lebih tinggi dibandingkan lawan politiknya.
Dalam kisruh Pemilu 2024 sekarang tulisan ini bukan sebagai klaim atas hasil quick count dan real count sebagai sesuatu yang keliru. Sekali lagi tidak begitu. Tulisan ini hanya ingin memberikan pesan bahwa kebenaran dalam politik sangat perlu dihadirkan. Ini dalam istilah yang lain menegaskan bahwa agama dan politik harus saling berintegrasi. Saya menyebutkan agama dengan kebenaran karena agama memiliki kebenaran yang absolut.
Dalam sebuah pernyataan yang cukup populer disebutkan, ”Dinuna siyasatuna, siyasatuna dinuna (agama butuh politik dan politik butuh agama)”. Agama tanpa politik tidak bakal dikenal karena politik berhubungan langsung dengan masyarakat luas, sedang politik butuh agama karena agama yang mengendalikan jalan politik agar tidak berpijak di jalan yang tidak benar.
Maka, tidak dapat dibenarkan jika jalan atau mazhab politikus tidak mengenal benar-salah. Saya rasa, mazhab ini termasuk mazhab yang sesat-menyesatkan. Karena, jika politik tidak kenal benar-salah, maka sangat dikhawatirkan negara ini akan hancur. Berdirinya negara sampai sekarang sebab ia selalu berpijak pada kebenaran.
Ada dua alasan kenapa politik harus berpegang pada kebenaran: Pertama, kepemimpinan itu adalah tanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan. Sebagai tanggung jawab, politik hendaknya berjalan di rel-rel kebenaran. Politik yang keluar dari rel kebenaran akan mencelakakan banyak pihak, terlebih masyarakat sipil yang tidak tahu-menahu soal politik.
Mengenai tanggung jawab kepemimpinan, Nabi SAW menegaskan: ”Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin bagi manusia, dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Ingatlah, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Kedua, pemimpin harus bersikap adil dan bertindak bukan untuk kepentingan pribadi. Disebutkan dalam surah Shad ayat 26: ”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”
Pada ayat tadi Nabi Daud yang dijadikan teladan dalam kepemimpinan berhak mendapatkan pujian jika dia berhasil berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsunya. Berlaku adil merupakan langkah dasar dalam melihat suka-tidak suka terhadap sesuatu. Ini cukup susah, tapi tetap harus ditegakkan. Seringkali politikus abai menegakkan keadilan ketika dihadapkan dengan lawan politiknya sebab ketidaksukaannya.
Lalu, politikus sebagaimana dilukiskan pada ayat tersebut hendaknya mengendalikan hawa nafsunya dalam meraih kekuasaan lewat cara-cara yang tidak benar. Semisal, jual beli jabatan, suap-menyuap, nepotisme, dan seterusnya. Hal-hal semacam ini adalah politik yang dibalut dengan hawa nafsu yang dapat mengantarkan pada kerusakan moral. Sungguh sangat berbahaya!
Sebagai penutup, mari tegakkan politik yang sehat yang berpegang teguh pada kebenaran agar politik ini membuahkan sesuatu yang berdaya guna. Hindari politik kotor yang didasarkan pada hawa nafsu semata. Karena itu akan merusak bangsa dan negara. Sungguh tidak bersyukur diri ini jika tetap memainkan politik kotor!
(Khalilullah)