Suriah, AS-Saudi, dan Lanskap Baru Kontra Terorisme
Salafusshalih.com – Keputusan mengejutkan datang dari Riyadh. Dalam Forum Investasi Saudi–AS, Donald Trump, dalam lawatannya ke Timur Tengah, mengumumkan pencabutan total sanksi terhadap Suriah. Tapi seperti semua kebijakan luar negeri Washington, terutama di bawah Trump, tak ada yang benar-benar gratis. Di balik heroisme AS, tersembunyi intrik politik global dan skenario baru dalam lanskap kontra-terorisme internasional.
Perlu diingat, hari ini, Suriah dipimpin oleh Ahmed al-Shara, yang masyhur sebagai Abu Muhammad Al-Jaulani. Ia bukan figur anonim. Al-Jaulani adalah eks-komandan Al-Qaeda cabang Suriah, yaitu Jabhat al-Nusra, yang kemudian bertransformasi menjadi Hay’at Tahrir al-Syam (HTS). Kendati HTS coba mencuci citra dan menjauh dari bayang Al-Qaeda, jejak ideologis dan militernya tak dapat dipisahkan dari jaringan teror global.
Fakta bahwa seorang mantan pemimpin kelompok teroris internasional kini menjadi pemimpin de facto Suriah menunjukkan betapa dramatisnya konstelasi geopolitik saat ini. Lebih penting lagi, AS tahu siapa Al-Jaulani. CIA tahu. Mossad tahu. Tapi mereka tetap mencabut sanksi. Ada harga yang dibayar? Jelas. Keputusan AS selalu pragmatis yang berlindung di bawah slogan ‘America First’.
Sedikitnya, ada tiga harga yang perlu Suriah bayar. Pertama, normalisasi lewat Abraham Accords. Suriah akan dipaksa bergabung dalam kerangka Abraham Accords, yakni kesepakatan yang menormalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel. Sebuah langkah yang, jika dilakukan Damaskus di bawah rezim Al-Jaulani, sama halnya dengan mengkhianati sejarah panjang dukungan terhadap perjuangan Palestina.
Kedua, pengusiran pejuang Palestina. Hamas dan Palestinian Islamic Jihad (PIJ) di Suriah akan diusir atau dipenjarakan. Pada akhir April kemarin, otoritas Suriah atas perintah Al-Jaulani menangkap dua pemimpin senior PIJ demi dicabutnya sanksi AS.
Khaled Khaled, Kepala PIJ cabang Suriah, dan Abu Ali Yasser, Kepala Komite Eksekutif PIJ di Suriah, ditahan. Jelas, langkah tersebut akan melemahkan dukungan regional terhadap Palestina, sekaligus memperkuat posisi Zionis-Israel secara strategis—sesuatu yang ironi dan lebih biadab daripada era Assad, dan lebih ironis lagi dilakukan oleh eks-teroris yang dari dulu mempropagandakan Daulah Islam.
Ketiga, aliansi kontra-ISIS. Di bawah rezim Jaulani, setelah AS mencabut sanksi, Suriah akan jadi mitra baru kontra-terorisme ISIS. Ironis? Tentu saja. Seorang mantan teroris kini diberi mandat oleh Barat untuk memerangi teroris lainnya. Tapi di dunia real politik, label bisa dinegosiasikan, asal musuh yang dilawan tepat. Namun aliansi tersebut semakin mengaburkan fakta, bahwa Barat dan Zionis-lah teroris sebenarnya.
Dengan demikian, keputusan AS mencabut sanksi terhadap Suriah di bawah rezim Al-Jaulani mengungkap sisi paradoksal dari kebijakan luar negeri dan kontra-terorisme AS. Bagaimanapun, Al-Jaulani adalah tokoh sentral jaringan jihad global. Langkah Trump menghapus sanksi terhadap rezim eks-teroris menandai kontradiksi moral yang akut. AS, yang selama dua dekade menggelorakan narasi global memerangi terorisme, kini justru mengafirmasi posisi strategis sang mantan teroris dan rekam jejak radikalnya.
Ternyata kredibilitas narasi kontra-terorisme dapat dikooptasi demi agenda strategis jangka pendek. Dan Al-Jaulani juga telah membuka sosok aslinya sebagai pro-Zionis dan pengkhianat atas perjuangan Palestina. Begitu juga Arab Saudi dan rezim Ibnu Saud yang sejak semula pro-Zionis. Mereka adalah aktor diplomatik Suriah di panggung internasional yang justru memalukan kedaulatan Suriah itu sendiri.
Dengan posisinya sebagai inisiator normalisasi, termasuk dalam kerangka Abraham Accords, Arab Saudi coba menjadi kunci peta ulang lanskap geopolitik regional. Perannya mendekatkan Suriah kepada Zionis-Israel dan AS mencerminkan pergeseran strategis yang hipokrit. Satu sisi, negara-negara Arab memperbudak diri di hadapan pendukung Zionis, dan di sisi lain, mencoba menyingkirkan Iran sebagai garda depan pembela Palestina.
Pilar utama perlawanan Suriah atas zionisme pun runtuh, begitu juga dengan relasi diplomatik antarnegara Muslim. Dengan mengintegrasikan Damaskus ke orbit geopolitik Abraham Accords dan menjauhkan pengaruh Iran, AS dan Saudi secara simultan memutus jalur pasokan strategis Teheran di kawasan. Hal itu bukan isolasi diplomatic semata, melainkan penguncian akses militer Iran di jantung Levant.
Ihwal lanskap baru kontra-terorisme, apa yang terjadi di Riyadh kemarin jauh melampaui kalkulasi bilateral. Jika Suriah berbalik arah dan memasuki kerangka kerja Abraham Accords, maka fragmentasi struktur resistansi regional terhadap Zionis-Israel dan dominasi Barat niscaya terjadi. Kehadiran Suriah sebagi simbol perlawanan runtuh seketika. Seluruh front anti-hegemoni Barat-Zionis akan terpecah, dan persatuan negara Muslim pun tinggal mimpi.
Kini Al-Jaulani memiliki peluang ganda: dari musuh global menjadi mitra regional. Transformasi tersebut mengingatkan pada kajian akademis tentang violent non-state actors yang direhabilitasi melalui integrasi ke dalam sistem formal; bahwa dalam konteks tertentu, status teroris bukanlah label tetap, melainkan posisi yang dinegosiasikan sesuai kepentingan kekuatan dominan—dalam hal ini AS dan para pendukung zionisme.
Penghapusan sanksi tanpa mekanisme akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM, atau keterlibatan Suriah dalam sistem dukungan terhadap kelompok jihadis, menjadi preseden buruk; memperkuat asumsi bahwa lanskap kontra-terorisme internasional tunduk pada logika kekuasaan belaka. Istilah freedom fighter dan terrorist ala AS ternyata berasas kepentingan, dan kini pengampunan pun jadi alat tawar-menawar geopolitik.
Apa yang terjadi di Riyadh kemarin, antara AS, Arab Saudi, dan Suriah, mempertontonkan satu fase: dunia pasca-kebenaran (post-truth world). Narasi tak lagi ditentukan oleh fakta, melainkan siapa yang memegang kendali atas media, diplomasi, dan militer. Seorang eks-teroris kini bisa berdiri di podium sebagai kepala negara, disambut karpet merah oleh negara-negara yang dulu mencantumkannya dalam daftar buronan.
Batas antara teroris dan diplomat pun semakin kabur. Palestina juga kembali menjadi tumbal. Peta kontra-terorisme juga semakin tidak jelas. Jika Suriah menyingkirkan kelompok-kelompok pejuang Palestina dari wilayahnya demi kesepakatan geopolitik, maka perjuangan rakyat Palestina akan semakin teralienasi, disingkirkan rezim yang dahulu mengklaim berdiri di pihak mereka. AS dan Saudi tengah menggenjot hegemoni, merangkul teroris untuk melemahkan Islam itu sendiri. Ironi.
(Ahmad Khoiri)