Tsaqofah

Nikah Siri, Ngeri-Ngeri Sedap

Salafusshalih.com – Perkawinan merupakan pilar utama dalam struktur sosial dan hukum sebuah negara. Berfungsi sebagai fondasi pembentukan keluarga dan menjaga keberlangsungan generasi.

Di Indonesia, institusi perkawinan sangat dipengaruhi oleh norma agama dan budaya yang mengedepankan nilai kesetiaan, keharmonisan, dan tanggung jawab bersama antara suami dan istri.

Namun, kenyataan sosial di lapangan menunjukkan fenomena nikah siri yang masih meluas dan menimbulkan berbagai persoalan hukum serta sosial yang serius.

Nikah siri, yakni pernikahan yang hanya diakui secara agama tanpa pencatatan resmi oleh negara, telah menciptakan kesenjangan besar dalam perlindungan hak-hak anak dan perempuan.

Ketidaksesuaian antara praktik sosial ini dan regulasi hukum nasional membuka ruang ketidakpastian yang berpotensi menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan, dan marginalisasi, terutama bagi kelompok rentan.

Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menguraikan secara mendalam implikasi hukum nikah tanpa pencatatan negara dan mengemukakan rekomendasi strategis agar perlindungan terhadap anak dan perempuan dapat diwujudkan secara menyeluruh.

Hak Anak dan Perempuan

Nikah siri masih menjadi pilihan banyak pasangan, terutama di daerah dengan keterbatasan ekonomi, budaya, atau kurangnya akses terhadap layanan administrasi perkawinan.

Berdasarkan data Kementerian Agama Republik Indonesia (2023), praktik nikah sembunyi kerap terjadi karena dianggap lebih mudah dan murah dibandingkan dengan prosedur pencatatan resmi yang dianggap rumit.

Secara agama, nikah siri memiliki legitimasi apabila memenuhi rukun dan syarat sah nikah sesuai dengan ajaran Islam. Hadis Nabi Muhammad Saw menegaskan pentingnya nikah sebagai sunnah:

”Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka ia bukan dari golonganku.” (HR Ibnu Majah)

Namun, dari sudut pandang hukum negara, nikah siri tidak memiliki kekuatan legal karena tidak tercatat secara resmi, sehingga para pihak tidak mendapat perlindungan hukum penuh.

Hal ini sangat berdampak bagi perempuan yang menjalani nikah siri karena sering kali mereka kehilangan hak-hak hukum, seperti nafkah, perlindungan dari kekerasan, dan hak waris.

Lebih parah lagi, anak-anak yang lahir dari perkawinan siri tidak mendapat pengakuan status hukum yang jelas. Mereka kerap menghadapi kesulitan memperoleh akta kelahiran yang sah, yang berdampak pada hak sipil dasar seperti akses pendidikan dan layanan kesehatan.

Lembaga Kajian dan Advokasi Perlindungan Anak (2021) mengungkapkan bahwa anak-anak dari pernikahan sembunyi rentan mengalami marginalisasi dan diskriminasi yang berdampak negatif jangka panjang.

Menurut Prof. Dr. Euis Amalia (2022), ketidakjelasan status hukum nikah siri memperkuat ketimpangan gender dan memperlemah perlindungan perempuan.

Ia menekankan bahwa perempuan dalam nikah siri berada pada posisi yang sangat rentan dan seringkali tidak mendapat keadilan dalam ranah hukum maupun sosial.

Kendala Penegakan

Indonesia telah memiliki payung hukum yang jelas mengenai perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan pencatatan resmi setiap perkawinan untuk mendapatkan pengakuan hukum. Namun, regulasi ini belum sepenuhnya mampu menjangkau praktik sosial yang kompleks di masyarakat.

Menurut Dr. Andi Firmansyah (2024), terdapat jurang yang cukup lebar antara ketentuan hukum formal dan realitas sosial, terutama terkait fenomena nikah siri.

Proses pencatatan perkawinan yang dianggap rumit dan biaya administratif menjadi penghambat utama sehingga masyarakat lebih memilih nikah siri.

Selain itu, aparat penegak hukum dan lembaga terkait mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan menangani kasus nikah siri.

Koordinasi antar lembaga yang kurang efektif dan minimnya sosialisasi mengenai pentingnya pencatatan perkawinan memperparah kondisi ini. Hal ini menyebabkan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak dari nikah siri belum optimal.

Dalam konteks ajaran Islam, Al-Quran menegaskan perlunya perlindungan bagi kaum yang lemah, terutama perempuan dan anak. Surah An-Nisa ayat 1 mengingatkan:

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu…”

Ayat ini mengandung pesan moral dan hukum yang kuat agar negara dan masyarakat memastikan keadilan dan perlindungan terhadap setiap individu, khususnya mereka yang rentan.

Rekomendasi Kebijakan

Mengatasi persoalan nikah siri memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multidimensional.

Pertama, perlu dilakukan revisi dan penguatan regulasi hukum perkawinan yang mengakomodasi fenomena nikah siri secara terbatas dengan mekanisme pencatatan alternatif.

Langkah ini dimaksudkan agar hak-hak anak dan perempuan tetap terlindungi tanpa menghilangkan nilai-nilai agama yang dipegang masyarakat.

Baca Juga:  Jembatan Suramadu dan Kecelakaan Lalu Lintas

Kedua, pemerintah harus memperluas akses layanan administrasi kependudukan dan perlindungan sosial bagi perempuan dan anak dari nikah siri.

Sistem data yang terintegrasi menjadi kunci agar tidak ada individu yang kehilangan hak administratif dan sosialnya.

Ketiga, edukasi dan kampanye kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak negatif nikah siri harus diperkuat.

Peran tokoh agama, adat, dan lembaga pendidikan sangat strategis dalam menyampaikan pesan ini secara persuasif dan kontekstual.

Keempat, penguatan lembaga perlindungan perempuan dan anak, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta lembaga swadaya masyarakat, menjadi sangat penting.

Dukungan sumber daya yang memadai harus diberikan agar lembaga-lembaga ini dapat menjalankan fungsi advokasi dan pendampingan hukum secara optimal.

Kesimpulan

Fenomena nikah siri merupakan tantangan besar dalam konteks perlindungan hak anak dan perempuan di Indonesia.

Kesenjangan antara regulasi hukum dan realitas sosial menimbulkan risiko diskriminasi dan ketidakadilan yang membutuhkan perhatian serius dan solusi menyeluruh.

Reformasi hukum yang adaptif terhadap fenomena sosial ini, ditambah penguatan layanan publik dan edukasi masyarakat, adalah kunci untuk memastikan perlindungan hak anak dan perempuan secara adil dan komprehensif. Pendekatan ini juga selaras dengan nilai-nilai agama dan prinsip keadilan sosial.

Sabda Nabi Muhammad Saw “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” (HR Tirmidzi) menjadi pengingat kuat bahwa perlindungan dan penghormatan terhadap keluarga adalah tanggung jawab bersama antara individu dan negara.

(R. Arif Mulyohadi)

Related Articles

Back to top button