Mujadalah

Bahaya Puritanisme Islam Dan Pentingnya Regulasi Pelarangan Dakwah Wahabi

Salafusshalih.com – Rakernas Lembaga Dakwah PBNU memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi pelarangan dakwah Wahabi. Rekomendasi ini barangkali merupakan wujud kekesaan NU atas manuver kaum Wahabi yang kian tidak terbendung. Ditambah sikap permisif pemerintah yang seolah abai pada persoalan ini. Bayangkan saja, banyak instansi pemerintah, BUMN dan Polri juga TNI yang justru mengundang ulama Wahabi untuk berceramah.

Atas rekomendasi itu, seperti biasa NU mendapat serangan di media sosial. Para pendukung Wahabi menyebut NU lebih memilih membela Syiah dan kelompok liberal, ketimbang Wahabi. Tudingan itu tentu tidak layak ditanggapi. Sudah terlalu sering NU dijadikan sasaran tembak kaum Wahabi. Tersebab, selama NU masih kokoh agenda Wahabi di negeri ini akan terhalang tembok besar.

Dakwah Wahabi, sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di Indonesia, penyebaran ajaran Wahabi secara terang-terangan mulai masuk pada dekade 1970-an. Kala itu, pemerintah kerajaan Arab Saudi memang tengah gencar-gencarnya menyebarkan pandangan Wahabi ke seluruh negara muslim. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tentu tidak luput dari sasaran propaganda Wahabi.

Strategi Penyebaran Paham Wahabi di Indonesia

Mengutip pernyataan Nur Khalik Ridwan (2018) penyebaran Wahabi di Indonesia terjadi melalui empat strategi. Pertama, pendirian lembaga pendidikan yang didanai oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Pendirian lembaga pendidikan mulai dari sekolah, perguruan tinggi dan pesantren ini dimaksudkan sebagai semacam pusat-pusat penyebaran ajaran Wahabi di ranah akademik.

Kedua, merekrut para ulama dan ustad terutama yang memiliki latar belakang pendidikan Timur Tengah sebagai agen-agen Wahabi di Indonesia. Mereka diberikan pendanaan untuk membentuk jamaah majelis taklim atau semacam komunitas pengajian dan bertugas menyebarkan paham Wahabi ke seluruh umat Islam.

Ketiga, mendanai penerbitan dan penyebaran buku, majalah, tabloid, bulletin, dan segala bentuk publikasi cetak yang memuat ajaran Wahabi. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi juga menggelontorkan dana untuk penyelenggaraan event-event keislaman seperti bazar buku, festival keislaman dan sejenisnya yang didesain sebagai media penyebaran ajaran Wahabi.

Keempat, mendirikan lembaga-lembaga sosial-keagamaan yang mengusung isu-isu sosial padahal sebenarnya merupakan organisasi think-tank Wahabi. Lembaga ini biasanya hadir dalam peristiwa bencana alam dengan membawa bantuan sosial namun dengan maksud terselubung yakni menyebarkan ajaran Wahabi.

Ciri-ciri Paham Wahabi

Pasca gerakan Reformasi 1998, ketika keran kebebasan terbuka lebar, propaganda Wahabi kian dilakukan secara terbuka. Dakwah Wahabi mulai dilakukan secara terang-terangan. Meski demikian, mereka tidak pernah secara eksplisit menyebut diri mereka sebagai kaum Wahabi. Namun, sebenarnya tidak sulit untuk mengidentifikasi model dakwah Wahabi ini.

Ciri pertama, mereka biasanya mudah sekali menuding kelompok lain sebagai pelaku bidah, aliran sesat, bahkan mencap kafir. Pokoknya, siapa pun yang berbeda pandangan keagamaan akan dianggap sebagai golongan yang keluar dari Islam.

Ciri kedua, mereka sangat anti pada konsep wasilah dan ajaran tasawuf karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Praktik seperti ziarah kubur, mengirimkan doa pada orang yang sudah meninggal, serta segala hal yang berhubungan dengan sufisme dicap sebagai bidah dan sesat. Sejarah bahkan mencatat kelompok Wahabi memprakarsasi penghancuran terhadap makam-makam ulama dan waliyullah karena dianggap sebagai sumber kemusyrikan.

Ciri ketiga, kaum Wahabi sangat tidak adapatif pada praktik akulturasi Islam dengan kebudayaan lokal. Dalam pandangan mereka, kesucian Islam harus dijaga dengan jalan menolak adaptasi dan akomodasi budaya lokal dalam praktik keagamaan. Paham puritanisme Islam ini kerap diwujudkan ke dalam sikap destruktif. Seperti merusak simbol kebudayaan sampai mengharamkan aktivitas kesenian.

Ciri keempat, dalam hal berpolitik, doktrin Wahabi bisa dikatakan keras dan kaku. Mereka hanya mau dipimpin oleh pemimpin yang tidak hanya seagama, namun juga berpandangan sama. Bagi mereka, negara yang tidak menerapkan hukum Islam secara formal merupakan negara kafir yang tidak layak ditaati.

Ciri kelima, secara umum Wahabi menunjukkan antipati pada wacana-wacana modernitas seperti pluralism agama, kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan sebagianya. Wahabi menganggap bahwa praktik Islam yang ideal adalah di masa salafussalih alias periode kehidupan Rasulullah yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Selain itu, kehidupan umat Islam dianggap telah tercemar oleh pengaruh dari luar.

Melawan Gerakan Kelompok Puritan  

Agenda pemurnian Islam ala kaum Wahabi inilah yang melatari paham puritanisme Islam. Yakni agenda memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh luar. Sekilas, puritanisme Islam ini baik-baik saja karena berkepentingan mengembalikan Islam ke ajaran awalnya. Namun, dalam praktiknya puritanisme Islam itu cenderung problematis karena sejumlah hal. Di satu sisi, tidak jelas benar apa yang disebut sebagai Islam murni. Pada kenyataannya, banyak aspek dalam ajaran Islam yang bersinggungan dengan budaya masyarakat Arab.

Di sisi lain, dalam praktiknya agenda puritanisme Islam ini dilakukan dengan cara kekerasan, baik verbal maupun fisik. Bentuk kekerasan verbal itu mewujud pada label sesat dan kafir yang disematkan pada kelompok Islam yang berbeda pandangan dengan Wahabi. Sedangkan kekerasan fisik mewujud pada tindakan perusakan, persekusi, bahkan teror terhadap semua hal yang dianggap sebagai bukan bagian dari Islam.

Paham puritanisme Islam yang dijalankan dengan cara kekerasan jelas merupakan ancaman serius bagi kehidupan bernegara, berbangsa, dan beragama. Maka, regulasi pelarangan ideologi Wahabi sebagaimana direkomendasikan LD PBNU kiranya patut direspons serius. Ini bukan semata soal NU versus Wahabi, namun menyangkut persoalan dalam lingkup keindonesiaan dan keislaman. Keberadaan dakwah Wahabi ibarat menjadi duri dalam daging bagi kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita.

(Nurrochman)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button