Dapatkah Dibenarkan Motif Politik Bom Bunuh Diri?
Salafusshalih.com. Bom bunuh diri bukanlah sesuatu yang baru kali ini terdengar. Meski, bom bunuh diri meledak di masjid Syiah Kucha Risaldar, Peshawar, Pakistan, Jum’at (4/3) kemarin. Bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh kelompok militan ekstremis yang mengikuti doktrin jihadisme Salafi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Ada beberapa pertanyaan menarik terkait aksi-aksi membahayakan dan tragis itu (biasanya aksi semacam itu termasuk dalam kategori aksi-aksi terorisme). Apa sebenarnya motif di balik bom bunuh diri yang dilakukan beberapa wilayah? Benarkah bom bunuh diri termasuk bagian dari jihad? Terus, apakah Islam membenarkan perbuatan picik semacam itu?
Apapun yang dilakukan manusia pasti ada mutifnya. Tidak mungkin mereka berbuat secara tiba-tiba. Orang makan pun punya mutif, yaitu lapar. Mutif bunuh diri yang dilakukan kelompok teroris adalah politik. Mereka tidak sepemikiran dengan keputusan pemerintah yang sah yang bagi mereka memutuskan sesuatu di luar keputusan Tuhan. Keputusan Tuhan, yang dipahami mereka, harus berlandaskan Al-Qur’an.
Mutif politik kelompok teroris itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah) dengan menggunakan sistem Khilafah. Negera Islam, bagi mereka, adalah cerminan negera yang pernah berjaya pada masa Nabi dan diteruskan oleh sahabat-sahabatnya.
Pandangan kelompok teroris tentang Negara Islam ditambah lagi soal Khilafah ternyata keliru. Negara Islam itu sesungguhnya tidak ada. Negara Islam hanya sebatas politik saja yang dikampanyekan pihak oposisi untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Nabi Muhammad saja tidak mendesain negeranya menjadi Negara Islam. Tapi, beliau mendesain negera dengan konsep moderasi (wasathiyah). Konsep ini tentu memberikan kebebasan negara menggunakan sistem apapun selagi tetap menegakkan kemaslahatan.
Bukti bahwa Negara Islam tidak ada, sahabat-sahabat Nabi, mulai Abu Bakar hingga Ali tidak menggunakan sistem yang sama. Sistem pemilihan Abu Bakar dilakukan oleh beberapa pihak dan kemudian disepakati oleh masyarakat. Pemilihan Umar dilakukan berdasarkan keputusan Abu Bakar. Pemilihan Utsman dilakukan oleh masyarakat. Kemudian, pemilihan Ali sebagai pemimpin dilakukan atas desakan beberapa pihak.
Selain itu, bukti Negera Islam itu tidak ada dapat dilihat dari cara Umar memberikan keputusan ketika ada seorang lelaki mencuri karena lantaran miskin dan tidak kelaparan. Umar memberikan dispensasi dengan tidak menghukum pelaku pencurian tersebut. Karena, Umar melihat dari niatnya, meskipun di dalam Al-Qur’an pencuri harus dipotong tangannya. Di sinilah Umar menggunakan ijtihad dalam mengatur suatu negara.
Bahkan, Sayyidina Ali pernah mengambil keputusan di saat sedang genting. Keputusan yang beliau ambil dikenal dengan istilah tahkim atau arbitrase yang kemudian keputusan ini diklaim kafir oleh kelompok Khawarij (Radikal). Saking radikalnya, Khawarij menghalalkan melakukan aksi-aksi teror untuk menghabisi jiwa lawannya. Naudzubillah!
Al-Qur’an bukan sepenuhnya dijadikan undang-undang suatu negara. Kitab Suci ini hanya diperuntukkan untuk orang Islam. Sementara, di dalam negara itu tidak hanya terdapat orang Islam saja, melainkan ada juga non-muslim. Lihat saja di Indonesia yang terdapat beberapa pemeluk agama yang berbeda-beda, mulai Kristen hingga Islam. Pemeluk agama yang berbeda ini tidak dapat dipaksa untuk beriman kepada Al-Qur’an. Karena, masing-masing pemeluk tersebut memiliki kitab yang berbeda.
Sampai di sini, negara dibebaskan menggunakan sistem apapun selagi sistem itu menegakkan kemaslahatan umat. Sistem Khilafah yang ditegakkan kelompok teroris jelas tidak dapat diterima karena sistem ini hanya menguntungkan sepihak saja dan merugikan pihak lain.[] Shallallah ala Muhammad.
(Khalilullah)