Mujadalah

Generasi Z, Kesehatan Mental, Dan Infiltrasi Radikalisme

Salafusshalih.com – Saban tanggal 10 Oktober, kita memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Peringatan ini sebagai semacam momentum pengingat pentingnya menjaga kesehatan mental. Peringatan ini sekaligus juga sebagai satu upaya untuk membangkitkan kesadaran publik ihwal isu kesehatan mental. Harus diakui, isu kesehatan mental acapkali belum mendapatkan perhatian sepenuhnya dari publik luas.

Berbeda halnya dengan isu kesehatan fisik dimana masyarakat bisa dibilang sudah memiliki kesadaran yang baik. Padahal, isu kesehatan mental tidak kalah penting dan urgennya dengan kesehatan fisik. Kesehatan mental berhubungan dengan kondisi kejiwaan (psikologis) individu yang itu akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidupnya.

Seturut data, kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan mental adalah kelompok generasi Z. Yakni generasi yang lahir antara tahun 1995 sampai 2012. Kerentanan gen-Z terhadap gangguan kesehatan mental ini dapat diidentifikasi dari setidaknya dua gejala. Pertama, generasi Z umumnya mengalami overthinking alias terlalu berlebihan dalam memikirkan sesuatu. Kedua, gen-Z umumnya mengalami insecure yakni perasaan gelisah dan merasa tidak aman dalam menjalani kehidupannya.

Faktor Gangguan Mental Gen-Z

Gejala gangguan mental yang diderita gen-Z ini dilatari oleh banyak faktor. Antara lain, modernisme yang mendorong gaya hidup individualis sehingga generasi Z mudah sekali mengalami keterasingan (anxiety). Juga globalisasi dan kapitalisme yang kerap kali menimbulkan kesenjangan sosial dimana anak muda dan remaja kerap tidak memiliki akses pada pendidikan dan juga sumber-sumber ekonomi.

Selain itu, gangguan mental pada gen-Z juga dilatari oleh maraknya penggunaan media sosial yang membuat sebagian anak muda hidup soliter. Dalam artian cenderung menutup diri dari dunia luar atau bahkan bersikap anti-sosial.

Dampak gangguan mental ini tidak bisa dipandang sepele. Stress dan depresi berkepanjangan rawan membuat anak muda dan remaja untuk mencari semacam pelarian. Bentuk eskapisme (pelarian) ini bermacam-macam, salah satunya ialah bergabung ke gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak konservatif-radikal.

Gen-Z dan Kerentanan Terhadap Radikalisme

Studi tentang isu kesehatan mental yang dikaitkan dengan infiltrasi radikalisme sebenarnya bukan barang baru. Banyak kasus terorisme yang melibatkan gen-Z terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, kita melihat belakangan ini bagaimana radikalisme secara masif menginfiltrasi kelompok gen-Z.

Di satu sisi, kondisi psikologis Gen-Z yang tengah ada di fase pencarian identitas, termasuk identitas keagamaan memang rawan terjebak dalam paham radikal-keagamaan. Rasa ingin tahu yang besar terhadap agama, namun tanpa disertai pengetahuan yang memadai kerap menjerumuskan gen-Z pada ideologi dan gerakan radikal.

Di sisi lain, kelompok radikal-teroris memang menjadikan golongan gen-Z sebagai sasaran indoktrinasi, kaderisasi dan rekrutmen mereka. Kelompok radikal-teroris paham betul bahwa gen-Z ialah kelompok yang secara demografis menepati posisi yang strategis. Jika bisa menguasai kelompok ini, maka upaya menyebarkan paham radikal ke depannya akan lebih mudah.

Kaum radikal umumnya menanamkan dua hal untuk meradikalisasi gen-z. Pertama, sikap anti-Barat yang dianggap sebagai musuh Islam dan aktor semua kejahatan kemanusiaan yang ada di muka bumi. Kedua, menanamkan keyakinan bahwa semua golongan yang tidak sependapat dengan gerakan mereka adalah musuh yang harus dienyahkan.

Ketiga, doktrin bahwa solusi atas segala persoalan yang membelit masyarakat saat ini ialah berdirinya negara Islam. Doktrin ini biasanya dibumbui dengan romantisisme kejayaan Islam di masa lalu. Keempat, doktrin bahwa menegakkan kejayaan Islam adalah kewajiban tiap individu, meski dengan jalan kekerasan.

Peran Institusi Sosial dalam Kesehatan Mental Gen-Z

Kegelisahan hidup, pencarian identitas agama dan minimnya pengetahuan adalah paket kombo yang membuat proses radikalisasi di kalangan gen-Z menjadi mudah. Seperti kita lihat dalam beberapa tahun terakhir, jumlah generasi Z terlibat gerakan radikal dan aksi terorisme kian meningkat. Banyak riset mengungkap bahwa pelaku aksi teror dari kalangan gen-Z umumnya memiliki kepribadian yang tertutup, bahkan asosial.

Di titik ini kita bisa melihat gambaran betapa isu kesehatan mental berkelindan erat dengan fenomena radikalisme dan ekstremisme di kalangan generasi Z. Remaja dan anak muda yang tengah ada di fase pencarian identitas itu rawan terjebak pada ideologi dan gerakan radikal. Maka, menjaga kesehatan mental di kalangan generasi Z merupakan bagian dari ikhtiar melindungi mereka dari infiltrasi radikalisme-ekstremisme.

Dalam lingkup terkecil, keluarga memiliki peran vital untuk memastikan kondisi mental anak dan remaja dalam kondisi stabil sesuai perkembangannya. Untuk itu, keluarga harus menjadi institusi sosial yang mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi anak-anak dan remaja. Peran orang tua juga sangat menentukan dalam menghindarkan anak dari gejala gangguan mental seperti overthingking, insecure, hingga anxiety.

Selain keluarga, instisusi sosial lainnya seperti lembaga pendidikan, organisasi keagamaan dan sejenisnya sudah seharusnya memberikan perhatian lebih pada isu kesehatan mental kaum gen-Z. Fungsi lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan ialah sebagai moral guidance alias penjaga moral masyarakat, terutama gen-Z dari pengaruh buruk modernisme, kapitalisme, dan teknologi digital yang saat ini marak.

Kondisi mental yang sehat dan stabil ialah modal penting generasi Z agar terhindar dari infiltrasi paham radikal. Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia tanggal 10 Oktober ini kiranya bisa menjadi momentum membangun kesadaran ihwal pentingnya menjaga kesehatan mental.

(Siti Nurul Hidayah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button