Isu Wahabi Bukan Tuduhan: Menelanjangi Trik Playing Victim Orang-Orang Wahabi

Salafusshalih.com – Orang-orang Wahabi sedang kepanasan. Sebab, kemunafikan mereka mulai terbongkar. Mengaku si paling sunnah tetapi perilakunya sangat bertentangan dengan akhlak Nabi Saw. Mengklaim pengikut salaf tetapi ahli mencemooh ulama-ulama salaf sebagai syubhat, bid’ah, bahkan sesat. Anehnya, ketika bobroknya mulai tersingkap, orang-orang Wahabi malah main playing victim. Mereka menganggap label ‘Wahabi’ sebagai tuduhan, dan menyangkal status ke-Wahabi-annya sendiri.
Sebenarnya, kemunafikan Wahabi bukan kali pertama mereka lakukan. Sudah sejak lama, orang-orang Wahabi berusaha menghilangkan—atau tidak mengakui—Wahabisme. Hal itu karena mayoritas ulama Ahlussunnah Waljamaah sudah sepakat bahwa Wahabi merupakan ajaran yang menyimpang, digagas oleh orang yang menyimpang asal Najd, juga menyalahi ijmak atau konsensus ulama dalam seluruh aspek Islam, utamanya dalam hal ilmu fikih dan tauhid.
Pada saat yang sama, Wahabi “merampok” Ahlussunnah sebagai identitas baru mereka. Makanya, mereka kerap mengklaim sebagai “Sunni”, padahal tidak. Mereka juga selalu mengaku pengikut manhaj salaf, padahal justru menuduh ulama salaf sebagai kaum syubhat dan bid’ah. Mereka mengaku pengikut Ahlussunnah, bahkan melabeli diri sebagai “paling sunnah”, namun semua akhlak dan ajarannya justru jauh melenceng dari ajaran Nabi.
Apa maksud “dirampok” di atas? Jawabannya, orang-orang Wahabi memutarbalikkan fakta: mereka mengaku diri sebagai Sunni dan pengikut salaf agar umat ikut menjadi Wahabi, sementara pada saat yang sama menuduh orang Sunni yang asli dan pengikut salaf yang asli sebagai ahli syubhat dan bid’ah—bahkan sebagiannya dianggap kafir oleh Wahabi. Ironisnya, perampokan dan pemutarbalikan fakta itu berhasil. Buktinya, semakin hari, jumlah pengikut Wahabi bertambah. Mengerikan!
Untuk itu, di sini perlu ditegaskan, bahwa “Wahabi itu bukan tuduhan!”. Tulisan ini akan menelanjangi trik playing victim orang-orang Wahabi, agar umat Muslim—terutama yang baru belajar Islam—tak tertipu mulut manis nan berbisa orang Wahabi. Umat Muslim di Indonesia maupun di seluruh dunia harus menyadari satu fakta: pertama, bahwa Wahabi adalah Khawarij masa kini, dan kedua, bahwa playing victim orang-orang Wahabi merupakan siasat menipu umat Islam.
Wahabi Adalah Khawarij Masa Kini
Wahabi itu Khawarij masa kini, dan ini bukan tuduhan melainkan pengungkapan fakta sejarah. Itulah kenapa orang-orang Wahabi tidak mau, dan selalu menyangkal, jika dipanggil Wahabi. Namun, menyangkal ke-Wahabi-an dan pada saat yang sama mengikuti Wahabisme adalah strategi kamuflase yang naif. Hal itu sama dengan orang yang ikut ajaran Paulus namun tidak mau dipanggil penganut Paulisme, malah mengaku pengikut Yesus.
Namun, bagaimana kalau penyingkapan kelicikan Wahabi dibuktikan sejarah? Tentu, tidak akan ada lagi yang bisa menyangkal. Sejarah memang mencatat, ancaman terbesar persatuan umat adalah munculnya gerakan yang menggunakan Islam sebagai alat memonopoli kebenaran. Di masa awal Islam, Khawarij jadi simbol ekstremisme dan fanatisme, yang berujung pada perpecahan-kekerasan terhadap sesama Muslim. Khawarij mengklaim sebagai “si paling berhukum dengan hukum Allah”.
Hari ini Wahabi juga demikian. Persis, tak ada bedanya sama sekali dengan Khawarij. Kendati muncul pada abad ke-18, dengan dalih palsu Dul Wahhab, antara Wahabi dengan Khawarij sama persis hal-ihwal ideologi, metode dakwah, dan dampaknya terhadap umat Islam. Semua itu dapat dilacak dalam buku sejarah Wahabi sendiri, yakni Tarikh Najd Ibn Ghannam. Ajaran menyimpang Dul Wahhab dan kerja sama politiknya dengan Bin Saud untuk menguasai Arab Saudi, dibahas di situ.
Ekspansi militer Wahabi juga terekam jelas dalam buku tersebut. Bagaimana Wahabi menghancurkan sisa-sisa warisan Ahlussunnah—termasuk memusnahkan para ulama Sunni—dengan tuduhan bid’ah, sesat, dan kafir, itu jelas sekali. Situs-situs sejarah juga dihancurkan, seperti makam ulama Arab, karena dituduh khurafat. Kongsi Bin Saud yang ingin kuasai Hijaz lewat doktrin Wahabi juga fakta historis yang semakin memperjelas bahwa Wahabi adalah Khawarij modern. Tak bisa disangkal.
Jadi, Wahabi mendapatkan kekuatan lewat ajaran teologis dan aliansi politik dengan Bin Saud. Dukungan militer dan finansial pun mengobarkan perang Wahabi melawan Muslim lainnya di Semenanjung Arab. Sejarawan John Philby mencatat, kekerasan Wahabi dibenarkan oleh fatwa-fatwa takfīr pada kelompok Sunni, Syiah, dan kaum sufi. Wahabi membantai Muslim yang menolak tunduk kepada mereka. Sungguh, Wahabi bahkan boleh jadi lebih barbar daripada Khawarij itu sendiri.
Tentu saja, ada argumen bahwa Wahabi tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan Khawarij. Tetapi siapa yang bisa mengelak dari sejarah? Inti ideologi Wahabi—yakni eksklusivisme, pengafiran atau takfīr, suka mencemooh sesama, dan menipu umat lewat doktrin yang menyimpang—mencerminkan kesamaan seratus persen dengan Khawarij di era Ali bin Abi Thalib. Karena tak dapat mengelak dari sejarah itulah, demi menipu umat Muslim, Wahabi memilih ‘playing victim’.
Orang Wahabi Playing Victim Demi Nipu Umat
Siapa pun yang mengungkap kebusukan Wahabi dan kemunafikan orang-orangnya, maka sudah pasti orang Wahabi akan menuduhnya dengan beberapa label, yakni “syubhat, ahli bid’ah, dan kafir”. Sebab, mau mengelak dari sejarah tidak bisa; mau menyangkal dari sisi kebenaran ajaran juga tidak bisa. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan umat adalah menuduh pihak lain sebagai ‘menyimpang’ di satu sisi, dan menutupi ‘penyimpangannya sendiri’ di sisi lainnya.
Strategi playing victim sudah jadi pola khas Wahabi sejak masa awal kemunculannya. Mereka selalu mengklaim sebagai korban fitnah dan penganiayaan, kendati kenyataannya, merekalah yang menciptakan konflik dengan memaksakan ideologi secara agresif. Alih-alih ishlah atau mencari titik temu, mereka lebih memilih mengobarkan perang atas nama “pemurnian tauhid” yang sepenuhnya palsu. Hari ini, jurus playing victim terus berlanjut.
Wahabi menggambarkan diri mereka sebagai penjaga Islam sejati, dan menuduh kelompok lain sebagai ahli bid’ah, pelaku syirik, bahkan murtad. Narasi semacam itu digunakan untuk mengalihkan perhatian umat dari kritik valid yang ditujukan pada doktrin mereka. Contohnya, ketika praktik literalisme Wahabi dikritik karena mengabaikan kekayaan intelektual Islam, mereka malah menuduh pihak lain sebagai “musuh tauhid” atau bahkan “anti-Islam”.
Pola playing victim Wahabi persis dengan jurus “kill the messenger” yang populer di era modern. Wahabi berusaha menghancurkan reputasi pengkritik di satu sisi, dan memecah-belah umat Islam di sisi lainnya. Ironisnya, tuduhan syubhat dan bid’ah yang orang Wahabi lontarkan sama sekali tak berdasar. Mereka mengandalkan retorika emosional dan potongan dalil secara serampangan. Ziarah kubur, sebagai contoh, dituduh menyembah kubur. Sungguh, fitnah Wahabi sangat kejam.
Umat Islam ditipu Wahabi lewat klaim sunnah palsu, salaf palsu, dan Ahlussunnah yang palsu total. Dan dengan dukungan rezim Bin Saud yang kaya raya, mereka terus menyebarkan pahamnya ke seluruh dunia melalui pembangunan masjid, penerbitan buku, dan pemberian beasiswa ke universitas-universitas yang mengajarkan doktrin Wahabi. Memalsukan identitas dan menyesatkan siapa pun yang berbeda adalah cara Wahabi eksis hingga kini.
Penting dicatat bahwa, yang membuat strategi playing victim Wahabi sangat efektif adalah kemampuannya memanfaatkan emosi umat. Dengan memosisikan diri sebagai korban fitnah, mereka menarik simpati Muslim awam yang tak memiliki akses penuh terhadap sejarah atau argumen teologis sesat Wahabi itu sendiri. Artinya, bagi orang-orang Wahabi, playing victim bukan sekadar strategi defensif, melainkan alat memperkuat hegemoninya.
Mereka yang berani mengkritik Wahabi akan jadi target serangan balik yang brutal, baik secara verbal maupun simbolis. Kritik ilmiah terhadap Wahabi akan langsung dilabeli sebagai serangan terhadap Islam, kendati kritik tersebut didasarkan pada kajian yang objektif dan mendalam. Sejarah bahkan mencatat, Wahabi menggunakan kekerasan fisik untuk membungkam lawan mereka. Dengan dalih palsu pemurnian tauhid, Wahabi melakukan vandalisme atas nama Islam.
Itulah trik playing victim orang-orang Wahabi. Maka jelas sudah, bahwa Wahabi bukanlah tuduhan belaka, melainkan kebenaran sejarah yang berusaha dibelokkan. Justru Wahabilah yang selalu menuduh orang lain dengan barbar lewat kata-kata ‘sesat’, ‘kafir’, dan lainnya. Karena itulah, seluruh kebohongan yang orang Wahabi tutupi dengan narasi playing victim harus dibongkar. Menelanjangi kebobrokan Wahabi dan kemunafikan orang-orangnya adalah salah satu bentuk jihad atas Islam.
(Ahmad Khoiri)