Mujadalah

Matinya Kepakaran Agama Islam di Tangan Selebgram Agamis

Salafusshalih.com – Cukup banyak tulisan di beberapa platform media sosial yang telah menarasikan fenomena matinya kepakaran agama. Sejauh pembacaan penulis, beberapa tulisan tersebut belum ada yang secara khusus menyoroti fenomena ini dalam kaitannya dengan selebgram ‘agamis’. Padahal, dengan lahirnya tipologi selebgram ‘agamis’ ini dari yang hanya bersifat konvensional menjadi salah satu penyebab baru terjadinya pergeseran otoritas kepakaran agama di media sosial.

Selebgram konvensional yang penulis maksud ialah para pegiat platform instagram dengan jumlah followers fantastis yang memang hanya fokus membuat konten -endors- tanpa labelitas identitas tertentu. Sedangkan sebelgram ‘agamis’ dalam hal ini para pegiat Instagram yang juga memiliki jumlah followers yang banyak dengan konten yang berlabelkan ‘dakwah Islam’.

Tentu tidak semua kalangan akan sepakat dengan pengklasifikasian ini, terlebih tidak berdasar pada pandangan tokoh tertentu. Dua klasifikasi ini murni asumsi secara personal dengan maksud untuk memantik nalar kritis, berdasar pada jenis-jenis konten yang ada platform Instagram penulis.

Pertanyaannya kemudian, dengan munculnya aplikasi TikTok apakah pengklasifikasian ini juga bisa diterapkan. Jawabnya, ya, melihat kecenderungan jenis konten yang kurang lebih sama, titik perbedaannya mungkin hanya pada nilai kreativitas berdasar pada fitur masing-masing aplikasi. Apa yang ingin penulis soroti dalam tulisan ini meliputi; selebgram, tiktokers, youtubers dan yang lainnya, istilah ‘selebgram’ hanya sebagai representasi untuk menyoroti fokus isu pergeseran otoritas kepakaran agama di media sosial.

Penulis menyadari judul yang dipilih cukup kontroversial jika hanya dilihat secara sepintas. Olehnya, hendak disclaimer lebih awal bahwa, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk men-generalisir selebgram/tiktokers/youtubers ‘agamis’ secara ‘brutal’, yang ingin penulis soroti ialah para pegiat media sosial ‘agamis’ yang hanya bermodal good looking dan public speaking yang bagus tanpa dilandasi pemahaman agama yang mumpuni namun dengan lantangnya merespon isu-isu aktual dan yang lebih parah sampai menyalahkan tokoh-tokoh yang sudah jelas kepakarannya.

Salah satu dalil yang sering menjadi sprit semangat para pegiat media sosial ‘agamis’ ini ialah hadis Nabi saw.“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat…(HR, al-Bukhari)”, lantas pertanyaannya, bagaimana jika ayat yang dihafal hanya ayat peperangan, tidakkah akan memunculkan citra buruk Islam di masyarakat online, terlebih jika hanya dipahami secara literal? Bagaimana jika ayat/dalil yang dihafal hanya sepotong-potong, tidakkah akan memunculkan misinterpretasi terhadap kalam Tuhan?

Jauh sebelum pertanyaan-pertanyaan itu, hal mendasar yang perlu untuk ditanyakan ialah, betulkah yang dimaksud oleh Nabi saw. sebagaimana yang dipahami oleh para pegiat media sosial ‘agamis’ ini? Jawabannya, mari coba kita melihat pandangan ulama terkait hadis ini.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Baari Syarah Sahih al-Bukhari dengan mengutip pandangan al-Mu’afi al-Nahrawani menguraikan bahwa, hadis ini tengah berbicara tentang anjuran menyampaikan ayat (petunjuk, pemisah dan penjelasan) yang datang dari Nabi saw. agar dapat dinukilkan secara luas. Jadi, konteks hadis ini terkait perintah kepada para Sahabat untuk menyampaikan penjelasan dari Nabi saw. kepada sahabat lain yang tidak sempat mendengar langsung dari Nabi saw. agar mereka juga tahu apa yang dijelaskan oleh Nabi saw.

Sangat jelas bahwa, hadis ini tidak berbicara dalam konteks perintah untuk berdakwah ‘walau satu ayat’ apalagi sampai pada ranah memutuskan halal-haram. Sederhananya, hadis ini hanya berisi perintah untuk meng-‘endorse’ penjelasan-penjelasan dari Nabi agar tersebar secara luas. Meminjam kalimat dari Nadirsyah Husein,“Menyampaikan berita/info itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan/tafsir ayat al-Qur’an, ibaratnya bagian Humas dengan bagian Litbang itu jelas berbeda”.

Selain hadis di atas, terdapat dalil lain yang juga menjadi spirit semangat para pegiat media sosial ‘agamis’ ini yakni QS. Ali Imran/3:104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

Tidak berlebihan jika dikatan bahwa, ayat inilah yang menjadi spirit utama para pegiat media sosial ‘agamis’ sehingga dengan lantangnya bersuara di media sosial terkait isu-isu keagamaan (klaim bid’ah, takfiri, dll) sebagai bagian dari aktualisasi-literalis menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.

Lantas pertanyaannya, apa demikiankah konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar yang dimaksud oleh ayat di atas?  Apakah dalam hal seruan agama tidak memerlukan otoritas keilmuan? Jawabnya, mari coba kembali merujuk pada pandangan mufassir terkait ayat tersebut.

Prof. Quraish Shihab dalam karya kitab tafsirnya, Al-Misbah, menguraikan bahwa maksud dari menyeruh kepada yang ma’ruf ialah seruan atas apa yang dinilai baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Sedangkan mencegah kepada yang munkar ialah pencegahan atas sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur.

Jelas bahwa, amar ma’ruf nahi mungkar dengan paradigma klaim bid’ah (sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi itu bi’dah yang harus dicegah) oleh oknum pegiat media sosial ‘agamis’ ini justru  bertentangan dari kandungan ayat di atas. Bagaimana tidak, seruan atas ‘adat’ selama tidak bertentangan dengan nilai Ilahi, justru malah dianggap larangan oleh para oknum ‘agamis’ ini dan yang lebih parah sampai pada klaim bid’ah, takfiri dan yang lainnya.

Lebih lanjut, lantas bagaimana dengan penting atau tidaknya otoritas keilmuan dalam seruan agama. Kembali penulis merujuk pada pandangan M. Quraish Shihab yang sempat dilansir oleh redaktur panrita.id dalam bentuk meme dengan narasi, “Memang sulit menghalangi orang berpendapat soal agama mereka, tapi seharusnya mereka sadar bahwa setiap ilmu memiliki syarat. Tidak semua bebas berpendapat tanpa otoritas.

Begitu lembut dan santun dalam setiap pandangan beliau, secara implisit kalimat tersebut mengandung makna bahwa, memang setiap orang punya hak untuk berpandangan, namun dalam hal persoalan agama seharusnya seseorang sadar adanya syarat sebelum berturur kata terkait persoalan agama, terlebih persoalan klaim halal-haram atas sesuatu (perlu adanya otoritas keilmuan).

Agaknya, uraian singkat dua dalil di atas sudah cukup untuk menyoroti landasan teologis yang disalah pahami oleh oknum pegiat media sosial ‘agamis’ ini dengan harapan refleksi tersebut bisa dijadikan bahan kontemplasi untuk sadar dan membuka mata akan perlunya otoritas keilmuan sebelum lantang berpendapat soal agama.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis hendak kembali ke pertanyaan awal di bagian judul; di tangan ‘selebgram agamis’, mungkinkah kepakaran agama akan mati? Jawabnya, mungkin saja jika para pegiat media sosial ‘agamis’ yang punya banyak pengikut online ini masih tetap ingin mempertahankan eksistensinya.

Sebaliknya, juga ada kemungkinan muncul sebuah terobosan baru jika para pegiat media sosial ‘agamis’ ini segera ‘sadar diri’ dengan memosisikan dirinya hanya sebagai ‘humas’ penyampai info keagamaan dan atau hanya bertugas untuk meng-‘endors’ secara objektif pandangan ulama yang punya otoritas keilmuan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

(Muh. Rizaldi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button