Mujadalah

Mempertanyakan Pencegahan Radikalisme Kampus Yang Tidak Jelas

Salafusshalih.com – Tidak sedikit yang menyatakan bahwa kampus Perguruan Tinggi adalah lahan subur jalur penetrasi menularkan ideologi radikalisme secara infiltratif. Para kelompok tersebut diarahkan guna menyasar para pemuda di kampus-kampus (mahasiswa) dikarenakan mempunyai jiwa “petarung” dan masih pencarian jati diri. Sehingga ketika diberi guliran-guliran ayat-ayat suci agama dari Tuhan, mereka akan lebih mudah rentan percaya dan bergabung menjadi anggota yang tangguh & militan.

Di pertengahan tahun 2022 tepatnya bulan Mei, Densus 88 Antiteror Polri menangkap tersangka teroris di rumah kosnya. Yang membuat geger publik, IA merupakan seorang mahasiswa UB, PTN ternama. Dalam keterangan persnya, Kepala Divisi Humas Polri mengatakan bahwa tersangka IA mempunyai tugas sebagai pengumpulan dana untuk membantu kelompok teroris ISIS di Indonesia sekaligus penyebar propaganda ISIS di medsos. Polisi dan lembaga pemerintah yang lain juga telah dilabeli sebagai toghut.

Dari fakta tersebut, semakin nyata bahwa mahasiswa telah dibrainwash, terkontaminasi oleh paham dan praksis yang rigid, literal, kaku yang menggunakan dalil kekerasan atas nama agama untuk melegitimasi aksinya. Perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka sudah seharusnya menciptakan generasi kaum intelektual dan akademisi yang menjunjung tinggi rasa kebhinekaan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Bukan malah sebagai tempat yang tidak steril dari infiltrasi dan diseminasi paham radikal.

Alih-alih aman dari ancaman ideologi radikal (transnasional), mahasiswa justru menjadi target utama kaderisasi. Mahasiswa dipandang sebagai aset emas untuk digarap para makelar ideologi transnasional, sebab merekalah yang kelak akan membawa panji dalam meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa (syubbanul yaum rijalul ghod).

Perlu langkah taktis dan sistematis dalam mengamputasi gerakan-gerakan radikalisme. Harus adanya tindakan konkrit untuk memproteksi mahasiswa agar tidak “dimangsa” oleh kampanye dan propaganda ideologi radikal.

Skema Indoktrinasi Radikalisme di Kampus

Kelompok-kelompok radikalisme dengan “cerdik” seringkali mengincar posisi strategis dalam Lembaga Kemahasiswaan (BEM, UKM dll). Manuver ini menjadi jalur strategis persemakmuran sebagai penunjang persebaran yang meluas ke mahasiswa-mahasiswa secara umum. Pengincaran posisi strategis dan pembuat pemangku kebijakan ranah mahasiswa menjadikannya dapat membuat program kerja yang sesuai dengan tujuan awal mereka yakni insersi virus radikalisme.

Lebih lanjut, mereka menganggap hal demikian sebagai ajang latihan dalam merealisasikan di lanskap kebangsaan & kenegaraan, karena kampus dianggap sebagai miniature of country. Di kampus seolah mendapat gambaran umum mengenai negara sesungguhnya. Dari bagaimana mekanisme adanya pemilu (negara) dan pemiluwa (kampus), hingga menajemen, pengelolaan, dan pembuat kebijakan dari masing-masing struktural. Kampus menjadi sarana latihan berdemokrasi, mengembangkan kapasitas diri guna menerpa dikehidupan sesungguhnya (berbangsa & bernegara).

Setelah proses yang cukup panjang, dan kian hari pergerakan radikalisme diketahui banyak pihak, termasuk pemerintahan. Para ahli menilai penyebaran virus-virus radikalisme mengalami transformasi secara underground. Ini merupakan konsekuensi logis, sama seperti halnya kelompok radikalisme diluar kampus yang jejak kampanye dan propagandanya terendus pihak berwajib.

Hal yang dilakukan dengan merubah pola persebaran yang lebih soft. Meskipun dalam rel underground, tapi kita-kita tetap harus waspada. Jangan sampai menjadi bom waktu, yang suatu saat akan meledak.

Bagaimana Regulasi yang Ideal?

Pertanyaan ihwal radikalisme yang marak di PTN seringkali muncul oleh berbagai pihak –termasuk dari dosen pembimbing saya terhadap saya.  Ketika dikaji dan ditelaah dengan data-data yang ada, memang betul, bahwa gerakan radikalisme mayoritas terjadi di PTN-PTN. Organisasi gema pembebasan (underbow HTI) dinilai menjadi biang keladinya.

Meskipun induknya telah dibubarkan, tapi organisasi sayap yang ada dikampus masih menunjukkan eksistensinya di berbagai universitas di Indonesia. Jauh sebelum penangkapan IA (Mahasiswa UB), di kampus UNRI pernah terjadi penangkapan terorisme yang mana pelakunya berperan sebagai perakit bom. Di sisi lain, survei-survei yang dilakukan lembaga-lembaga (BIN, Setara Institute, PPIM, BNPT, Wahid Institute dll) juga menyebutkan banyak dari mahasiswa yang terpapar radikalisme.

Dari data fakta yang sudah sangat sharih dimana PTN lebih rentan penyemaian benih radikalisme. Hal berbanding terbalik –sejauh yang dipahami penulis– justru diperlihatkan Kemendikbudristek. Kementerian yang menggawangi PTN seakan menunjukkan reaksi yang kontraproduktif dan cenderung lebih santai menghadapi persoalan radikalisme. Ia justru lebih prioritas pada program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka guna mempersiapkan mahasiswa meningkatkan kompetensi lulusan (softskill maupun hardskill), dan supaya berjiwa daya saing global, lebih siap, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Berbeda dengan Kemendikbudristek, Kemenag justru lebih aktif, protektif dan progresif. Dalam kurun waktu mulai tahun 2019-sekarang, Kemenag menggencarkan diseminasi gerakan moderasi beragama ke berbagai stake holder lembaga di bawah yuridiksinya.

Pemahaman moderasi beragama akan menjadikannya memiliki keyakinan yang kokoh, dan disaat yang bersamaan, ia mengejawantahkan sikap bergaul, berteman, berinteraksi dengan siapa saja, termasuk dengan orang yang berbeda keyakinan. Dalam lanskap yang lebih holistik, orang moderat akan menerima konsensus kebangsaan sekaligus akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Ini yang menjadi big question?, yang rawan di PTN, akan tetapi pencegahan lebih digeliatkan di PTK –dalam hal ini PTKI. Persoalan radikalisme yang banyak justru terjadi di PTN, akan tetapi penguatan yang diberikan cenderung mendominasikan jiwa entrepreneurship. Kemenag yang PTK-nya steril, justru melakukan meanstreaming moderasi beragama sebagai antitesis paham-paham radikal.

Dalam hal ini seolah adanya “clueless”, dan ambiguitas. Jika ingin memberantas radikalisme seharusnya regulasi di Kemendikbudristek mengenai radikalisme juga dibuat, bukan malah hanya terdapat di satu pihak yakni Kemenag. Karena faktanya memang, didalam PTN-lah terdapat warga kampus yang lebih beragam dibanding PTK. Dari kejadian tersebut, penulis melihat seperti kurangnya koordinasi & sinergitas, sehingga masing-masing membawa standpointnya.

Padahal jika saling diintegrasikan akan membawa pada kebermanfaatan yang luar biasa. Program kampus merdeka yang diarahkan nantinya mengarah pada kompetisi untuk mendapat pekerjaan, memenuhi kebutuhan pasar kerja. Dengan segala kelebihannya, program tersebut hanya berorientasi sebatas sisi material, dan mengarah aspek individualisme, kapitalisme. Maksudnya, ketika diberikan porsi keagamaan moderat secara proporsional, ia nantinya tidak hanya berpikir pragmatis, tetapi akan terpenuhinya unsur transendental.

PTN jangan hanya diberi penguatan wawasan kebangsaan saja, tapi secara simultan harus juga diberi pemahaman keagamaan linier tentang perdamaian, keberagaman, dan kemanusiaan. Pemberian diskursus wawasan kebangsaan dengan jargon “NKRI Harga Mati” saja tidak cukup. Karena, kelompok radikalisme juga berteriak “NKRI Harga Mati”, akan tetapi NKRI yang dimaksud yakni Negara Khilafah Rasyidah Islamiyyah. Wallahu’alam.

(Muhammad Muzadi Rizki)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button