Mencegah Provokasi Dan Polarisasi Tentang Pendukung Khilafah 2024
Salafusshalih.com – Dinamika perpolitikan menuju 2024 semakin pelik. Akhir pekan kemarin, tagar #AniesDidukungKhilafah trending di Twitter. Narasinya adalah bahwa Anies Baswedan, yang notabene Capres Partai Nasdem, didukung para aktivis khilafah dan bahaya untuk Indonesia. Pada saat yang sama, Ade Armando, pegiat CokroTV yang beberapa bulan lalu dikeroyok massa, juga menebarkan narasi bahwa jika umat Kristen pecah, maka Anies akan menang. Dari kedua narasi, provokasi dan polarisasi tidak terhindarkan.
Sejujurnya, membahas Anies itu tidak penting. Selain karena Pilpres masih lama, saya juga tidak punya kepentingan dengannya. Apa yang menurut saya penting dibahas adalah Anies Effect, yaitu fenomena yang terjadi bersama, sebelum dan setelah, Anies dideklarasikan sebagai Capres. Dan itu berkaitan dengan isu-isu seputar politik identitas, narasi khilafah, dan ancaman untuk NKRI. Polarisasi yang terjadi juga merupakan bagian dari efek tersebut yang, mau tidak mau, harus segera diatasi.
Membahas tentang provokasi dan polarisasi tentu saja tidak boleh membutakan perspektif: aktornya tidak tunggal dan searah. Masing-masing pihak, baik yang pro-Anies maupun kontra-Anies, sama berperan untuk memprovokasi masyarakat dan membuat polarisasi yang curam. Karenanya, tulisan ini tidak dalam rangka berspekulasi ihwal pro-kontra tersebut, melainkan menyuguhkan narasi alternatif tentang betapa nasib NKRI terancam bukan oleh Aneis, tetapi provokasi-polarisasi itu sendiri.
Juni lalu, Majelis Sang Presiden yang mendeklarasikan Anies sebagai Capres diklaim berisi para eks-HTI, FPI, hingga eks-napiter). Deklarasi bertajuk “Sang Presiden Kami Anies Baswedan” yang dihelat di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, itu kemudian dinarasikan sebagai dukungan aktivis khilafah untuk Anies. Tidak lama, Rudi S Kamri, pegiat media sosial sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB), menegaskan bahwa Anies dan basis pendukungnya sangat berbahaya bagi NKRI.
Bahkan, di media sosial sempat beredar sebuah dokumen bahwa Anies menjalin kontrak dengan HTI. Dokumen tersebut kemudian diklarifikasi Kominfo sebagai hoaks—fitnah belaka. Teman-teman Ade Armando di CokroTV juga beraksi di Twitter dengan narasi yang tak kalah provokatif. Polarisasi yang semakin menajam membuat masyarakat terkotakkan sebagai kadrun, Arab, cebong, dan hinaan rasial lainnya. Ujaran kebencian jadi makanan sehari-hari. Umat, kalau tidak cebong, pasti kampret.
Kapan semua itu akan berakhir? Siapa dalang di balik kerusuhan verbal tersebut? Apa kepentingan mereka? Benarkah khilafah mendukung Anies? Benarkah Anies berbahaya bagi NKRI? Ini harus ditelaah secara kritis, sebelum NKRI hancur oleh provokasi dan polarisasi itu sendiri.
Provokasi Khilafah
Dukung mendukung soal khilafah, di tanah air, dilakukan oleh banyak kelompok. Ada HTI yang paling getol melakukan indoktrinasi klandestin, ada sejumlah laskar FPI yang benci penguasa dan akan melakukan apa pun untuk memprovokasi umat, dan ada juga Wahabi—mereka menamai diri sebagai Salafi—yang ikut dua kelompok sebelumnya dalam menyuarakan aspirasi mereka. Teuku Wisnu misalnya, yang juga mendukung Anies.
Namun tidak hanya itu. Kontra-khilafah juga dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat secara diaspora. Dan tidak sedikit di antara mereka yang ikut-ikutan tanpa memahami duduk perkara yang sebenarnya. Mereka inilah yang berbahaya. Selain suka menebarkan hoaks narasi khilafah, mereka juga paling kejam urusan menebar kebencian antarsesama. Belum lagi, mereka punya panutan seperti Ade Armando dkk. Pelintiran kebencian yang provokatif dan memecah belah berasal dari mereka.
Jika itu terjadi, maka NKRI tidak akan pernah damai dan tenteram. Hujat-menghujat satu sama lain, di antara kubu yang terpolarisasi, tidak hanya akan terjadi hingga tahun 2024, tetapi hingga 2029, 2034, 2039, bahkan boleh jadi—semoga tidak—hingga NKRI runtuh. Menghadapi ini, tidak hanya aktivis khilafah yang harus dilawan dan ditanggulangi bersama, melainkan masyarakat pembenci khilafah secara umum. Khilafah mesti dilawan secara argumentatif, bukan dengan narasi kebencian.
Provokasi khilafah, penting untuk dicatat, berada di antara dua titik ekstrem yang paradoksal. Pendukung khilafah itu nyata ada dan harus dilawan, tetapi melawan mereka harus dengan tepat sasaran; bukan dengan memprovokasi dan mempolarisasi masyarakat. Pendukung khilafah, sebagiannya, juga benar mendukung Anies. Tetapi apakah itu bisa dijadikan narasi bahwa Anies akan berbahaya bagi NKRI? Ini sudah keluar konteks. Inilah yang disebut provokasi khilafah.
Siapa pun dalangnya dan apa pun kepentingan para provokator khilafah, tidak ada yang tahu pasti—atau meskipun tahu tidak perlu berspekulasi. Di tengah iklim politik menuju Pilpres, senjata apa pun bisa dipakai. Masing-masing punya kepentingannya sendiri. Anies, dalam hal ini, adalah umpan semata. Tanpa Anies pun, pendukung khilafah pasti akan beraksi, dan masyarakat dalam larut dalam rivalitas tetap akan saling menebar provokasi dan memantik polarisasi yang menyebabkan perpecahan bangsa.
Di Ambang Perpecahan
Umat Islam di Indonesia, seluruhnya, apa pun kelompoknya, ibarat ada di tepi jurang, tetapi tidak menyadari bahwa mereka akan segera jatuh ke lembah yang akan memusnahkan mereka. Satu sama lain bertengkar, kebencian antarsesama dirawat Pilpres demi Pilpres dan tidak tahu pasti kapan berakhir. Polarisasi semakin melebar. Pendukung khilafah dan pengonter khilafah sesekali terlibat perdebatan yang tidak proporsional hingga NKRI berada di ambang perpecahan.
Sebagai demokrasi, bisa saja semua ini dianggap sebagai seuatu yang lumrah. Percekcokan adalah hal yang biasa terjadi, terlebih menjelang Pemilu. Namun demikian, provokasi tetaplah provokasi, dan polarisasi tidak pernah baik itu iklim demokrasi itu sendiri. Demokratisasi seharusnya berjalan secara sehat, terbuka untuk semua golongan, nirkekerasan dan nirkebencian, dan bersama-sama dalam tujuan ideal menjaga NKRI. Khilafah adalah ancaman yang harus dilawan dengan argumentasi yang benar, bukan provokasi, tebaran kebencian, dan perpecahan.
Untuk itu, sedikitnya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencegah provokasi dan polarisasi tentang pendukung khilafah 2024. Pertama, mengedukasi masyarakat. Masyarakat seluruhnya harus berkomitmen terhadap NKRI dan melawan narasi khilafah. Namun demikian, masyarakat mesti diedukasi ihwal kontra-khilafah yang benar. Sehingga mereka tidak mudah terprovokasi yang alih-alih menyelesaikan masalah, mereka justru akan menjerumuskan diri ke masalah baru: polarisasi.
Kedua, kontrol terhadap media oleh stakeholders terkait. Saya mengapresiasi Kominfo yang segera mengklarifikasi hoaks tentang Anies yang dituduh membuat kontrak dengan aktivis HTI. Langkah tersebut perlu ditiru oleh yang lain, seperti civil society, tokoh masyarakat, bahkan pemerintah. Dan kontrol terhadap media tersebut harus presisi, harus adil pada kedua belah pihak. Para stakeholders harus memahami perannya untuk menjaga kerukunan masyarakat dan keutuhan NKRI.
Ketiga, kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya persatuan dan kesatuan. Ini menjadi tugas umum bahwa sejumlah kalangan tidak memahami perannya sebagai warga negara yang baik. Saya pernah melihat seorang menteri, bayangkan seorang menteri, yang saat ini sedang menjabat, ikut menebarkan narasi partisan tentang politik 2024. Di kolom komentar, hujatan pun tak terhindarkan—mendukung sang menteri melangsungkan ujaran kebencian. Tak perlu disebut siapa nama menterinya.
Tentu saja selain tiga hal tersebut masih banyak upaya lainnya untuk mencegah provokasi dan polarisasi. Yang jelas, ketiganya sangat urgen untuk segera ditempuh hari ini, sebelum narasi provokatif yang mempercuram polarisasi mencapai puncaknya pada tahun 2024 bahkan seterusnya. Tidak perlu saling menyalahkan siapa yang sudah bikin onar di negara ini. Yang menjadi masalah adalah ujaran kebencian yang tak sesuai porsinya. Melawan khilafah adalah wajib, namun menebarkan kebencian tidak pernah menjadi bagian dari kontra-khilafah. Dan justru, ia sangat berbahaya bagi NKRI itu sendiri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Ahmad Khoiri)