Hubbul Wathan

Menghambat Potensi Ekstremisme dan Menguatkan Ideologi Pancasila

Salafusshalih.com – Iklim keberagamaan di Indonesia terus melewati tantangan-tantangan. Ideologi Pancasila diserang dari berbagai sisi, baik dari aspek teoretis maupun empiris. Hari-hari ini, potensi ekstremisme kembali menguat melalui ideologisasi berbagai kelompok anti-NKRI. Ideologi Pancasila semakin hari dibuat semakin jauh dengan masyarakat Indonesia, sementara ekstremisme dan sejenisnya semakin mendarah-daging. Jelas ini merupakan masalah besar. Potensi ekstremisme harus segera dihambat.

Sebenarnya, hubungan agama dengan Pancasila sama tuanya dengan dirumuskannya Pancasila itu sendiri. Para founding father Indonesia pada sidang BPUPKI sudah memutuskan konsensus final. Lima sila mengandung komitmen universal (kalimatun sawa’) antaragama. Pancasila sebagai ideologi negara sudah tidak lagi perlu dipermasalahkan. Ia justru harus diperkuat untuk meredam potensi-potensi ekstremisme. Mempertentangkan Islam dengan Pancasila tidak lagi relevan.

Agama, pemikiran agama, pengamalan agama, bahkan perampokan agamalah yang menjadi musuh Pancasila selama ini. Perampokan agama maksudnya ialah upaya mencatut agama demi agenda-agenda politis untuk mencapai posisi strategis tertentu. Tentu saja hal itu riskan terhadap Pancasila. Mereka melakukan tindakan ekstrem seperti bughat tidak hanya untuk mengutak-atik sistem pemerintahan, melainkan merongrong eksistensi Pancasila itu sendiri.

Inilah yang mesti kita bersama perangi. Potensi ekstremisme dan bughat memiliki spirit menghancurkan NKRI, sehingga tidak bisa dianggap sebagai persoalan remeh. Ia mendegradasi Pancasila dan merugikan orang banyak, misalnya dengan melakukan bom bunuh diri. Ia ibarat musuh dalam selimut. Tak jarang ia bersembunyi di balik undang-undang kebebasan berekspresi. Berlindung di bawah naungan hak asasi manusia. Demokrasi dieksploitasi demi kepentingan menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Agama Ideologis

Agama (al-din) memuat norma-norma universal yang tidak akan pernah lekang oleh waktu (zaman) dan tempat (makan). Ia mencakup segala urusan vertikal (habl min Allah) dan hubungan horizontal (habl min al-nas). Iya adalah esensi. Panduannya adalah kitab suci. Dalam Islam, kitabnya adalah Al-Qur’an. Kristen dan Yahudi juga memiliki kitab mereka sendiri. Setiap kitab suci kebenarannya mutlak, tetapi tidak dengan penafsiran atas kitab suci. Ia tentatif dan temporal.

Ketika berada dalam tataran penafsiran, maka di situlah agama berubah menjadi tafsir atas agama. Ia tak lagi universal, karena melibatkan sosio-religio-kutural kita sebagai penafsir. Apa yang diajarkan kitab suci kita pahami, tetapi pemahaman tersebut berkaitan erat dengan konteks kita sendiri. Karenanya, agama kemudian seringkali tereduksi ideologi tertentu. Parahnya, beberapa orang tetap bersikukuh bahwa agama yang tercemar ideologi tersebut tetap harus dipaksa ajarkan.

Ini yang disebut dengan agama ideologis. Ia merupakan agama yang sudah terdistrosi subjektivitas, misalnya ideologi ekstrem, eksklusif, dan seterusnya. Ideologi Wahabi, ideologi Salafi ekstrem kemudian membakar agama dan mendoktrin bahwa ideologinya adalah purifikasi ajaran-ajaran Islam. Agama yang murni bagi mereka adalah agama yang tidak bertentangan dengan ideologi tadi. Dari sinilah ekstremisme menemukan panggungnya mengobrak-abrik bagian internal agama.

Menarik untuk dicatat bahwa bughat, makar, ternyata tidak muncul karena menginginkan kemerdekaan, melainkan karena lelah dengan pendiskreditkan Islam. Setidaknya mereka merasa demikian. Dalam tatanan negara baru yang diinginkan, kelompok bughat sama dengan kelompok ekstremis. Yakni sama-sama melakukan segala aktivitas yang mengundang kekacauan (chaos). Tetapi, musuh terbesar Pancasila tetaplah keduanya.

Tentu label musuh di atas didasarkan oleh fakta bahwa ekstremisme memiliki potensi besar di negara ini. Jika kita mencintai Indonesia, mereka adalah musuh kita bersama juga. Kita kita menyadari bahwa mereka musuh, melawan adalah suatu yang membanggakan. Jika tidak, Pancasila berada dalam posisi berbahaya, karena ia ada di bawah rongrongan pengrusak Pancasila itu sendiri. penguatan ideologi Pancasila menjadi sesuatu yang wajib dilakukan.

Penguatan Pancasila

Menjadikan Pancasila asas tunggal bernegara tidak berarti menegasikan posisi agama. Tetapi ekstremisme tak masuk bagian ini. Beragama secara ekstrem atau beragama dengan hasrat bughat, adalah rupa pejoratif dari keberagamaan itu sendiri. Cukuplah kita mengamalkan norma agama yang include dalam Pancasila, perihal bernegara. Tetapi tatanan hidup sosial kita juga mesti sebagaimana diajarkan Al-Qur’an.

Ketika Al-Qur’an menentang ekstremisme dan perilaku bughat, lalu apa alasan kita membenturkan agama dengan Pancasila? Seharusnya kita menyadari, justru yang bertentangan adalah keduanya. Ungkapan ‘agama’ juga tidak bisa kita lepas dari konteksnya. Agama adalah agama. Pemikiran agama adalah pemikiran agama. Keduanya adalah hubungan kontinuitas, tapi pengertiannya tidak sama: antara ‘yang universal’ dengan ‘yang temporal’.

Hari ini agenda kita adalah merevitalisasi Pancasila, dan pada saat bersamaan, membungkam ekstremisme dan potensi bughat. Semua kasus hari-hari ini, terutama tentang indoktrinasi HTI, adalah korban dari penyalahpahaman Pancasila satu sisi, dan pengkontrasan Pancasila dengan agama di sisi lainnya. Adalah ironi jika sampai masyarakat umum menyalahpahami bahwa Pancasila adalah satu hal dan Islam adalah hal lainnya. Jelas itu mengundang lahirnya spirit makar.

Ekstremisme dan potensi bughat barangkali sulit dientaskan, sebagai konsekuensi logis dari sistem demokrasi kita. Tetapi membentengi diri adalah satu keniscayaan, agar ruang provokasi tertutup serapat mungkin. Ekstremisme tak diajarkan agama, bahkan tak termasuk agama itu sendiri. Di tengah keberagaman, Pancasilalah tuntunan kita. Di tengah keberagamaan, ekstremismelah musuh kita.

Berpegang teguh pada Pancasila adalah ikhtiar mewujudkan cita-cita ber-ishlah di bumi-Nya. Sebagaimana Allah Swt. sudah tegas melarang pengrusakan (ifsad) di dalamnya. Lebih-lebih, Islam adalah agama pembawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam. Ia satu spirit dengan yang terumuskan dalam Pancasila. Karena ekstremisme dan bughat justru mengundang kerusakan, ia jelas kontradiktif dengan Islam dan bertentangan dengan spirit Pancasila.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

(Ahmad Khoiri)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button