Fikih

Mengulas Ketentuan Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri Dalam Islam

Salafusshalih.com. Pencurian (السرقة) diambil dari akar kata  سَرَقَ, yang bermakna mencuri. Secara bahasa, pencurian adalah mengambil sesuatu secara samar. Sedangkan definisi secara istilah, adalah mengambil harta secara samar dari tempat penyimpanan yang layak dengan beberapa syarat tertentu.

Dalam hukum islam, seorang pencuri akan dikenai sangsi (Had) berupa potong tangan. Had pencurian ini, telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan sunnah serta ijma’ ummat.  Dalam Al-Qur’an mengatakan; “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (Al-Maa’idah: 38).

Namun, tahukah kalian? bahwa tidak sembarang pencuri itu bisa dipotong tangannya, ada beberapa ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjatuhkan vonis potong tangan. Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin [158/4] menyebutkan bahwa;

وأركان السرقة الموجبة للقطع ثلاثة: مسروق وسارق وسرقة.

    “Rukun-rukun pencurian yang mewajibkan hukum potong tangan ada tiga macam; barang yang dicuri, orang yang mencuri, dan pencurian.”

Masing-masing dari rukun mempunyai beberapa syarat yang harus dipenuhi, misalnya barang yang dicuri. Ia mempunyai empat syarat;

Pertama, harus seperempat dinar (tiga dirham) atau barang yang senilai dengannya. Sehingga, tidak boleh dipotong tangan orang yang mencuri kurang dari nilai itu. Misalnya, barang remeh –sandal jepit.

Kedua, disimpan di tempat penyimpanan yang semestinya untuk menjaga barang tersebut. Misalnya tempat penyimpanan baju adalah lemari yang digembok, serta tempat penyimpanan emas adalah di toko yang ada penjaganya, dan lain sebagainya. Sehingga, tidak boleh dipotong tangan orang yang mencuri barang di jalanan. Karena barang tersebut tidak diletakkan di tempat yang layak.

Ketiga, hendaklah pencuri tidak mempunyai hak kepemilikan terhadap barang tersebut. Seperti, orang yang mencuri barang yang digadaikannya atau barang yang disewakannya. Sehingga, tidak ada potong tangan bagi orang yang mencuri barang yang disewakannya.

Keempat, tidak ada syubhat kepemilikan pada barang tersebut. Misalnya barang persekutuan (dagang), sekalipun bagiannya hanya sedikit. Sehingga, tidak ada hukum potong tangan bagi orang yang mencuri barang persekutuannya dengan orang lain.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang mencuri ada dua kategori;

Pertama, usianya sudah baligh, orangnya berakal, tidak dalam kondisi terpaksa, melazimi terhadap hukum-hukum islam, dan mengetahui terhadap keharamannya mencuri.  Sehingga anak kecil, orang gila, orang yang terpaksa, kafir harbi, sekaligus orang yang tidak mengetahui terhadap keharamannya mencuri tidak dikenai hukum potong tangan.

Kedua, orang yang mencuri tidak mendapatkan izin dari pemiliknya. Sehingga orang yang sudah mendapatkan izin dari pemiliknya untuk mencuri barangnya tidak dikenai konsekuensi hukum potong tangan.

Sementara untuk syarat-syaratnya rukun yang ketiga (pencurian), adalah keseluruhan syarat yang berlaku terhadap rukun yang pertama dan kedua. Lantaran ia mengekor (tabi’) terhadap dua rukun yang pertama.

Begitulah ketatnya islam dalam memberikan ketentuan hukum potong tangan,

Allah mensyariatkan hukum ini agar manusia tidak semena-mena terhadap haknya orang lain. Tiadalah syari’at akan ditegakkan melainkan demi kebaikan manusia itu sendiri.

(Syukron Hafid)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button