Pentingnya Menakar Kesesatan dan Kecacatan Wahabi Memahami Bid’ah

Salafusshalih.com – Sungguh mengkhawatirkan ketika di satu sisi kemajuan teknologi informasi dan perkembangan pesat media hari ini, justru dijadikan alat menyebarkan paham-paham menyesatkan sebagaimana kaum Wahabi lakukan. Platform digital dan beranda media sosial mana yang tidak dipenuhi oleh ajaran sesat kaum satu ini? YouTube, Facebook, Instagram, X, semuanya dibanjiri paham-paham sesat ala Wahabi yang pada akhirnya akan menimbulkan prahara baru di tengah masyarakat kita yang majemuk.
Benar nyatanya bahwa Wahabi hari ini telah merampas dan menyematkan diri sebagai kelompok dengan manhaj salaf dan mengaku menjadi “pewaris salaf”, meskipun seluruh doktrin gerakan ini disandarkan pada Ibnu Taimiyah (abad ke-14), Muhammad bin Abdul Wahhab (abad ke-18), Nashiruddin Al-Albani, dan Shalih al-Utsaimin (yang notabene ulama abad ke-20).
Tindakan itu tak lain sebagai strategi untuk menutupi identitas aslinya sebagai Wahabi, dan tak jarang juga dilakukan untuk mengeksploitasi istilah ‘Ahlusunah Waljamaah’, biar seakan-akan mendapat sedikit legitimasi untuk menjadi kelompok yang paling paham Al-Qur’an dan sunah Nabi (Khoiri, 2024).
Padahal kita semua tahu, istilah “salaf” bisa mempunyai makna yang berkenaan dengan masa atau waktu. Terdapat pula yang mengartikan salaf pada tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad, sebagaimana ditegaskan langsung oleh Nabi dalam sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabiin), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (pengikut tabiin)…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun yang pasti, pada hakikatnya makna salaf tidak terbatas pada waktu, tetapi juga akan selalu bermuara pada bagaimana berislam dengan kembali merujuk pada pedoman al-salaf al-shalih dalam merumuskan hukum, mulai dari kaidah menafsirkan Al-Qur’an, sunah, dan dasar-dasar kaidah yang lainnya. Berangkat dari itulah, tidak ada perbedaan yang mendasar di dalam Ahlusunah Waljamaah dalam manhaj berislam yang awal (ulama salaf) dengan yang setelahnya (ulama khalaf).
Kesalahan Memahami Makna Bid’ah
Jika kita cermati terus-menerus, hari demi hari, waktu demi waktu, dakwah sesat ala Wahabi selalu menjurus pada takfir (pengafiran), tasyrik (pemusyrikan), dan tabdi’ (pembid’ahan). Tiga hal ini bisa kita temukan secara jelas setiap hari di berbagai platform digital. Di Instagram misalnya, terdapat akun @tvmanhajsalaf, yang setiap hari tidak ada habisnya memosting ceramah sesat ustaz-ustaz Wahabi. Semua ceramah bisa dipastikan bermuara pada pembid’ahan.
Entah ada berapa ratus, bahkan ribuan mungkin, pembid’ahan yang dilakukan Wahabi terutama dalam praktik keagamaan umat di Indonesia. Mulai maulid Nabi, tahlilan, ziarah kubur, hingga pengharaman tawasul kepada Nabi Muhammad. Khalid Basalamah, Zaenal Abidin, Syafiq Riza Basalamah, Dzulqarnain Sunusi, dan Firanda Andirja, menjadi sedikit dari sekian banyak ustaz-ustaz Wahabi di Indonesia.
Dalil bid’ah misalnya yang selalu mereka jadikan dalil untuk menolak amaliah-amaliah yang bertentangan dengan Wahabi. Kalau pun jika dikritisi, dalil bid’ah yang Wahabi pakai tetap itu-itu saja. Wahabi selalu menyimpulkan bahwa hal-hal (pekerjaan) yang tidak dilakukan oleh Nabi adalah bid’ah, sebagaimana sabdanya berbunyi:
وكل بدعة ضلالة
“Dan setiap yang bid’ah itu sesat”, (HR. Muslim).
Inilah letak kesalahannya, Wahabi memaknai hadis di atas secara mentah sehingga dengan konyolnya menyimpulkan adat-istiadat maupun tradisi yang dilakukan umat muslimin di mana pun, termasuk di Indonesia, sebagai sesuatu yang bid’ah dan sesat. Pertanyaan besarnya, benarkah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi itu bermakna larangan? Sejauh mana Wahabi bisa mempertanggungjawabkan hadis tersebut sebagai penolakan terhadap amaliah yang berbeda dengannya?
Sejauh ini para ulama, baik salaf maupun khalaf—sependek pengetahuan saya—semuanya sepakat bahwa at-tarku (apa yang ditinggalkan atau yang tidak dilakukan Nabi) bukanlah salah satu metode yang bisa digunakan secara “terpisah” dalam istidlal dan istinbath (perumusan hukum).
Metode yang masih digunakan sampai detik ini dalam menetapkan hukum (syar’i) tidak terlepas dari Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan qiyas. Meskipun juga masih terdapat perselisihan pendapat terkait metode yang lain, misalnya tentang perkataan/pekerjaan para sahabat Nabi, apakah juga bisa dijadikan hujjah (dalil) dalam perumusan hukum atau tidak.
Namun yang pasti, at-tarku (sesuatu yang tidak dikerjakan/ditinggalkan Nabi Muhammad) pada dasarnya tidak bisa dijadikan hukum syar’i. Terdapat banyak dalil yang bisa digunakan untuk melacak lebih jauh bahwa para sahabat pun, orang yang secara nyata membersamai Nabi, belum bisa memberikan kesimpulan bahwa at-tarku-nya Nabi Muhammad bermakna keharaman. Dengan demikian, argumentasi ini secara otomatis mematahkan paham-paham sesat dan cacat Wahabi.
Atas dasar itu, ulama Ahlusunah Waljamaah kemudian mengartikan dan membagi bid’ah berbeda-beda. Ada yang mengartikannya sebagai perkara yang dilakukan tanpa sepengetahuan Rasulullah, ada pula yang mengartikan dan membaginya menjadi dua kategori. Pertama, perkara baru yang tercela (bertentangan dengan Al-Qur’an, sunah, atsar sahabat, dan ijmak). Kedua, perkara baru yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan tentunya tidak bertentangan dengan yang salah satu yang disebutkan di awal. Bahkan ada pula yang mengklasifikasikannya menjadi enam macam bid’ah.
Meluruskan Pemahaman Seputar Bid’ah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penolakan (pengharaman, pembid’ahan, pemusyrikan, hingga pengafiran) Wahabi pada amaliah-amaliah golongan di luarnya didasarkan pada ketiadaan amaliah tersebut pada Nabi Muhammad. Lantas, apakah sesuatu (amaliah) yang tidak dikerjakan dan tanpa sepengetahuannya oleh Nabi kemudian tidak diperbolehkan bahkan dilarang? Jawabannya sudah jelas bahwa Nabi tidak melarangnya, pun juga memperbolehkannya.
Jawaban ini bisa dilihat ketika dalam sejarahnya, terdapat sahabat Nabi bernama Bilal ra. yang mempunyai kebiasaan dan mensunahkan dirinya untuk salat dua rakaat setiap kali selesai berwudu. Kebiasaan salat dua rakaat ini jelas tidak pernah dikerjakan dan tanpa sepengetahuan Nabi. Hingga suatu ketika, Nabi bertanya kepada Bilal terkait amalan yang paling diharapkan pahalanya: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling kamu harapkan pahalanya yang ketika kamu kerjakan dalam keadaan telah memeluk Islam. Sungguh aku mendengar suara langkah sandalmu di dalam surga.” Sahabat Bilal kemudian menjawab: “Saya tidak mengamalkan amalan yang paling saya harapkan pahalanya ya Rasulullah, kecuali setelah saya bersuci (berwudu) baik saat petang maupun siang, lalu saya salat yang tidak diwajibkan…”
Setelah kejadian itu, Nabi mengetahui bahwa sahabatnya yang bernama Bilal mempunyai kebiasaan salat dua rakaat setiap kali selesai berwudu. Kebiasaan ini yang kemudian dijadikan jawaban oleh Bilal saat Nabi menanyakan amalan yang diharapkan pahalanya. Mendengar itu, Nabi tidak mengingkari amalan yang ditempuh oleh sahabatnya, alih-alih juga tidak melarangnya. Sehingga atas kejadian ini, Nabi telah memaklumi cara yang ditempuh oleh para sahabatnya dan Nabi pun tidak melarangnya ketika cara itu dilakukan di masa-masa mendatang.
Bukankah Nabi juga pernah mengakui bahwa adanya sunah yang baik dan buruk dan sunah (pekerjaan) yang dilakukan oleh para sahabatnya, sebagaimana dua sabdanya:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة. ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة.
“Barangsiapa yang memulai memberi contoh kebaikan (sunah hasanah) dalam Islam, maka ia mendapat pahala atas yang diperbuatnya, dan mendapat pahala orang-orang yang meniru (mengikuti) perbuatannya hingga hari kiamat. Dan, barangsiapa yang memulai memberi contoh keburukan (sunah sayyi’ah) dalam Islam, maka terdapat dosa baginya atas apa yang diperbuatnya, dan dosa orang yang mengikuti amalan buruk tersebut hingga sampai hari kiamat,” (HR. Muslim).
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Hendaklah kalian berpegang dengan sunahku dan sunah para khulafa al-rasyidin setelahku.”
Contoh sahabat Bilal di atas hanyalah tamsil kecil dari sekian banyak contoh tentang sesuatu (amalan) yang tidak dikerjakan Nabi bukan berarti menjadi hal yang tidak diperbolehkan untuk dikerjakan. Betapa sebetulnya masih banyak sekali contoh yang menguatkan hal itu, sehingga kemudian justru akan semakin memperlihatkan kesesatan-kesesatan Wahabi.
Wahabi Membahayakan Umat
Tidak ada yang menyangkal, jika pemahaman sesat Wahabi didasarkan pada pembelajaran terhadap Islam yang tidak menyeluruh. Wahabi telah membuat Islam menjadi agama yang kaku. Eksistensi Wahabi tak ubahnya wabah yang sangat membahayakan bagi umat Islam di mana saja, dan tak segan-segan mengeroposi bingkai-bingkai ukhuwah, amaliah, dan adat-istiadat yang sudah lama terbangun di bangsa ini sebagaimana disebut sebagai Islam Nusantara. Lantas, apa yang diharapkan dari kelompok ini?
Kehadirannya tak lain hanya untuk membid’ahkan, mengharamkan, dan mengafirkan orang yang tidak sejalan dengannya. Para pengikutnya hanya bisa dibodohi, dipaksa tunduk, dan bertaklid buta pada produk hukum ustaz-ustaz sesat di majelisnya. Produk hukumnya tidak berdasarkan pendapat yang mu’tabar (kuat), sehingga tak jarang antara satu ustaz dengan lainnya saling bertentangan satu sama lain. Itu pun masih dalam konteks hukum, belum lagi konteks akidah yang akan lebih terlihat secara nyata kesesatannya.
Seketika merasa iba ketika melihat pengikutnya bertanya hukum pada ustaz-ustaz sesat hanya dengan bermodal secarik kertas. Setelah itu dipaksa mengangguk hina oleh jawaban refleks yang diberikan ustaznya. Tidak akan ditemukan sama sekali satu pun majelis Wahabi yang membolehkan pertukaran argumentasi terkait sumber hukum, kecuali di majelis-majelis kalangan Ahlusunah Waljamaah yang mereka sebut sebagai ahli bid’ah. Majelis semacam Bahtsul Masail mustahil ditemukan di Wahabi.
Wahabi tidak akan berubah. Selama mereka masih fanatik pada imam-imamnya dan menafikan metode istidlal dan istinbath hukum sebagaimana yang Ahlusunah Waljamaah lakukan, selama itu pula Wahabi akan menganggap orang yang di luarnya sebagai ahli bid’ah. Karena sesuai dengan namanya, wawasan Wahabi hanya soal bid’ah, bid’ah, dan bid’ah. Lantas, masih pantaskah kelompok sesat seperti mereka menamakan diri sebagai pewaris salaf?
(M. Faidh Fasyani)