Mujadalah

Pentingnya Menangkal Islamisme Guru

Salafusshalih.com – Dalam dua dasawarsa terakhir, infiltrasi paham intoleran, radikalisme, dan terorisme di pelbagai ranah menjadi tren yang semakin meningkat dalam lanskap keberagamaan di Indonesia. Sejumlah peristiwa sosial-keagamaan yang mengarah kepada kekerasan memberikan citra suram bagi pesan keagamaan yang rahmatan li al-‘alamin. Kecenderungan ini semakin memprihatinkan jika ditinjau dalam perspektif kebangsaan, yang secara kodrati adalah majemuk, baik dari sisi suku, ras, bahasa, budaya, maupun agama.

Dalam konteks Indonesia, potret ekstremisme semakin meruyak dalam satu dekade terakhir: penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (2011), konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura (2013), pembakaran gereja di Singkil, Aceh, dan pembakaran masjid di Tolikara, Papua (2015), pengeboman di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta (2016), serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB (2018), serangan narapidana terorisme terhadap aparat kepolisian di Rutan Mako Brimob, Depok (2018), dan peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (2018).

Fenomena keberagamaan di atas masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat di pelbagai ranah dan menyasar generasi muda melalui pendidikan. Sejumlah studi mengkonfirmasi bahwa konservatisme agama dan gerakan-gerakan radikal meningkat di dunia pendidikan (Bryner, 2013; Makruf, 2014; Tan, 2014).

Pada aras ini, sekolah-sekolah ditengarai menjadi ajang bagi perkembangan ideologi yang, oleh Woodward, disebut “neo-Wahabisme”. Lebih jauh, studi-studi lain semakin menegaskan bahwa intoleransi dan eksklusivisme di sekolah masuk melalui berbagai celah. Setidaknya, paham tersebut masuk ke sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler (Maarif Institute, 2011) dan buku ajar Pendidikan Agama Islam (PPIM, 2016). Selain itu, faktor eksternal, seperti pengaruh radikalisme di dunia maya, khususnya internet dan media sosial, juga berpengaruh terhadap pembentukan pemahaman peserta didik (PSBPS, 2018).

Pada tataran inilah, persemaian eksklusivisme dan ekstremisme keagamaan di sekolah sangat efektif dilakukan melalui proses pengajaran oleh seorang guru kepada peserta didik (Farha, 2008). Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan jika dilihat dalam bingkai demokrasi dan kewargaan, karena nilai-nilai eksklusif dan intoleran yang bertumpu pada pemahaman keagamaan yang sempit dan dogmatis memiliki daya rusak yang tinggi terhadap keragaman identitas. Yang terbaru ada oknum  guru yang mengajak siswa untuk memilih ketua Osis seagama (Detik.com, 3/10/2020). Dalam spektrum yang lebih luas, hal ini mengindikasikan semakin kuatnya gejala Islamisme.

Cara berpikir tersebut mengantarkan siswa pada sikap tertutup dan acapkali memandang sang liyan (the others) sebagai ancaman, dan pada gilirannya terpelanting jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang bermuara pada keterbukaan dan welas-asih. Pengakuan atas liyan merupakan pilar penting bagi nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada semangat egalitarian. Pada aras ini, pendidikan agama harus berpijak pada kurikulum nasional yang menekankan spirit inklusif dan semangat dialogis, serta dirumuskan dengan mendengarkan suara dari semua kalangan (Gutman, 1987).

Oleh karena itu, pendidikan agama perlu dilihat ulang dengan memeriksa semua instrumen yang terkandung di dalamnya secara holistik: kurikulum, buku teks, dan guru. Pendidikan agama perlu arah kebijakan baru yang sesuai dengan khittah pendidikan, yakni UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 yang memiliki tujuan bukan hanya menciptakan peserta didik yang saleh secara individual melainkan juga mencetak peserta didik menjadi warga negara yang baik (good citizen) yang memiliki kesadaran dan sikap toleran terhadap perbedaan serta memiliki empati antara satu dengan yang lain.

Hal terakhir ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Fakta-fakta yang disebut di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama menjadi arena perebutan bagi nilai-nilai eksklusif yang mendorong peserta didik tercerabut dari nilai-nilai inklusif.

Peran Guru

Padahal seperti yang kita ketahui bahwa guru merupakan salah satu instrumen vital dalam institusi pendidikan. Dalam konteks Indonesia, guru sejatinya bukan hanya sebagai corong penyalur ilmu, tetapi mereka juga dinilai menjadi standar nilai perilaku. Misalnya, seorang anak akan dinilai apakah dia berperilaku terpuji atau tercela akan dilihat dari kepatuhannya terhadap guru.

Begitu pun bagi para guru, mereka dituntut untuk berperilaku sesuai dengan standar nilai yang ada di dalam masyarakat. Dilihat dari sudut pandang ini, guru bukan hanya tenaga profesional sebagai pengajar, namun mereka juga memiliki otoritas tradisional yang memiliki pengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Apalagi di dalam dunia yang serba canggih dan instan, pengetahuan dapat dengan mudah dicari dan diperoleh. Internet mempunyai porsi yang besar dalam mengisi pengetahuan peserta didik dan guru di sekolah. Tentu saja, informasi yang mereka dapat bisa berupa informasi yang negatif maupun pengetahuan yang positif. Misalnya, narasi-narasi yang menganjurkan dan menjustifikasi penggunaan kekerasan dalam beragama.

Pemahaman yang demikian pada akhirnya akan melahirkan sikap dan intoleransi terhadap non-Muslim karena dianggap sebagai ancaman dan penyebab masalah umat Islam. Atau setidaknya akan menimbulkan sikap dan tuntutan bagi Muslim sebagai mayoritas untuk diperlakukan lebih khusus oleh negara ketimbang umat agama yang lain.

Di sinilah peran guru dibutuhkan untuk menangkal ide-ide yang ingin mengganti sistem negara dan menjustifikasi kekerasan oleh kelompok-kelompok radikal dan ektremis. Guru yang memiliki pandangan keagamaan yang moderat, toleran, dan memiliki wawasan kebangsaan dan demokrasi yang kuatlah yang dibutuhkan untuk mengonter gagasan-gagasan yang intoleran dan radikal, khususnya kepada generasi muda.

Solusi

Dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), diharapkan membuat reformasi mengenai pembelajaran PAI, mulai dari rekrutmen guru, menambah porsi materi toleransi dalam pembelajaran PAI, serta melakukan penetrasi dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan organisasi ekstrakurikuler keagamaan yang dinilai menjadi pintu masuk radikalisme di sekolah.

Selain itu juga perlu memperkuat wawasan kebangsaan dan kemajemukan para guru, baik yang mengabdi di sekolah/madrasah negeri maupun swasta, adalah pemberdayaan lembaga-lembaga yang memproduksi guru, seperti LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Pemberdayaan LPTK harus menjadi prioritas utama sebagai bagian dari upaya pencegahan meluasnya paham intoleran dan eksklusif.

Hal yang sama juga harus dilakukan pada lembaga Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PPKB), yang menjadi garda terdepan dalam menciptakan “pelita” yang mampu menerangi jalan peserta didik dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.

(Eko Setyawan)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button