Mujadalah

Solidaritas Politik, Moderasi Beragama, dan Amanat Kontra Radikalisme

Salafusshalih.com – Kekerasan atas nama agama yang berujung pada tindakan ektremis-radikalis masih menjadi peristiwa yang marak terjadi hingga kini. Hal ini terlihat pada sejumlah kasus yang membenturkan antara agama, politik dan doktrin radikal yang masuk melalui celah-celah di semua lini di masyarakat. Beberapa waktu lalu, terjadi peristiwa memilukan, yaitu bom bunuh diri di gereja Samarinda Kalimantan Timur. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata pelakunya diketahui merupakan mantan narapidana kasus terorisme.

Panorama lain di Tangerang 2011 lalu, yang dalam aksinya kali ini mengenakan kaus bertuliskan “Jihad, the way of life”. Terlepas dari apa motif utama sang pelaku melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan atribut yang dikenakan pelaku, dapat dipahami bahwa aksi tersebut mengatasnamakan agama. Peristiwa ini menambah panjang daftar hitam aksi kekerasan dan terorisme di nusantara yang membawa atribut keagamaan.

Fenomena di atas mengindikasikan bahwa agama di era disrupsi, menjadi persoalan yang masih rentan dan menjadi momok yang menakutkan. Kekerasan agama tentu menjadi ironi dan tidak sejalan dari substansi agama yang berupa kasih sayang dan perdamaian. Seorang filsuf asal India Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence menyebutkan bahwa salah satu tantangan terberat abad modern salah satunya ialah mengelola keragaman identitas, termasuk Agama.

Amartya menjelaskan bahwa fenomena globalisasi di era modern tidak lantas benar-benar mencairkan perbedaan budaya dan agama antarwarga dunia. Sebaliknya, di banyak tempat di dunia, persoalan identitas bahkan berkembang menjadi kian sulit diselesaikan.

Terlebih di Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan ratusan etnik, ribuan jenis budaya dan aneka agama. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara demokrasi seringkali terjadi percampuran urusan agama dan politik. Tentu hal ini menjadikan upaya merawat keberagaman menjadi semakin kompleks. Meskipun ketiganya terpisah pada ranah sendiri-sendiri, faktanya ketiganya sangat berhimpitan hidup dalam masyarakat Indonesia. Keadaan demikian memberikan dampak pada solidaritas sosial politik di masyarakat.

Secara sederhana, makna solidaritas politik mengacu pada konsep penyatuan masyarakat yang hidup dalam perbedaan. Ketika masyarakat dihadapkan pada persoalan dan cita-cita bersama yang terbungkus dalam siklus negara, kekuasaan dan kebijakan, maka solidaritas menjadi jalan yang paling strategis untuk meminimalisir konflik identitas. Tanpa adanya solidaritas masyarakat tidak mungkin bersatu dalam suatu kesatuan cita-cita.

Dalam politik Indonesia, menjelaskan bahwa agama tidak melekat secara formal dalam urusan ketatanegaraan. Tetapi nilai-nilai agama menjadi landasan etik, moral dan spiritual pembangunan bangsa. Hal ini sejalan dengan pemikiran presiden ke-4 Gus Dur, Gus Dur menjadikan agama sebagai faktor komplementer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini menjadi penting, karena dengan demikian, negara tidak disibukan dengan perbedaan tafsiran terhadap ajaran agama. Karena seringkali tafsir agama menjadi bagian yang mudah untuk disusupi paham radikal dengan klaim sepihak.

Untuk itulah, konsep moderasi beragama menjadi jalan pintas untuk melawan kaum konservatif. Moderasi akan semakin mudah terinternalisasi dalam masyarakat, ketika bersatu dalam sebuah ikatan solidaritas. Dengan prinsip kehati-hatian, masyarakat dapat menyaring pemikiran-pemikiran paham radikal yang seringkali menyebabkan kekerasan atas nama agama.

Tentu kita rindu di era Gus Dur dimana keberagaman dan konsep multikultural terlihat begitu mencolok. Selain itu dalam menjaga keseimbangan agama, Gus Dur meninggalkan warisan penting yang perlu dirawat karena tantangan yang di hadapi bangsa semakin mengancam keutuhan bangsa.

Terlebih di era globalisasi saat ini, persoalan yang dihadapi semakin kompleks, Terutama, terkait meningkatnya kompetisi antarberbagai elemen bangsa dalam mendapatkan akses-akses ekonomi-politik. Dalam sisi lain, ancaman moral dan radikalisme menjadi PR besar mengingat genarasi muda terindikasi semakin terkikis karakter luhur bangsanya. Persoalan kompleks ini perlu dibenahi. Pasalnya siapa lagi yang meneruskan bangsa ini kalau bukan para generasi mudanya?

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, banyak kalangan maupun organisasi tertentu yang memainkan dan mengeksploitasi simbol-simbol primodial termasuk agama. Maka moderasi beragama merupakan poin utama untuk membentengi dan mengelola keragaman keagamaan. Dari hasil beberapa riset, menunjukkan bahwa tidak banyak orang Indonesia yang punya pemikiran terbuka terhadap kelompok-kelompok keagamaan berbeda, terlebih minoritas.

Sebenarnya semua tergantung pada tingkat kedewasaan dan kematangan masyarakat memaknai hidup dalam perbedaan keyakinan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih konkret dalam menata kehidupan yang rukun. Perlu digaris bawahi dan diingatkan kepada masyarakat, bahwa upaya memperbaiki kerukunan antarumat beragama tidak menjurus kepada relativitas iman.

Apa hal kecil yang dapat kita lakukan? Semua berawal pada kesadaran dan tingkat persatuan. Melalui solidaritas kebangsaan, kerukunan dan keinginan untuk meraih apa yang dicita-citakan negara menjadi lebih mudah. Kita juga harus mendukung program pemerintah melalui moderasi, Program moderasi beragama yang sekarang dijalankan pemerintah sebenarnya upaya memperkuat tata kelola keragaman keagamaan bangsa kita yang sempat terseok-seok dihantam terjangan konservatisme dan radikalisme.

Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu melalui aktivitas politik yang berorientasi pada persatuan keberagaman. Salah satunya melalui dialog, baik antar iman, dialog ke dalam dirinya sendiri, mapun dialog karya melalui tema-tema perbincangan yang tidak terkait langsung dengan teks agama. Seperti halnya dialog dengan aspek kemanusiaan dan melestarikan lingkungan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun yang jelas supaya lebih efektif, dialog sebaiknya disusun secara sitematis dan terus dimonitoring dalam ranah moderat. Jangan sampai malahan dimanfaatkan oleh kaum-kaum radikal yang diam-diam merambah pada ruang dialog. Tidak dapat dimungkiri, selama ini banyak pasar-pasar spiritualis yang sepakat melalui programnya untuk mendeklarasikan dialog. Akan tetapi faktanya hal seperti inilah yang paling rentan untuk disususpi paham radikal.

Dengan demikian, marilah kita untuk kembali pada marwah kebhinekaan dan persatuan Indonesia. Jangan ada lagi poltik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Dengan berpijak pada solidaritas dan moderat, bangsa ini akan semakin maju dan terjaga keamanan dan kerukunanya. Harapan besar untuk menjadi bangsa yang lebih baik tergantung pada karakter kita dan sepenuhnya di tangan Anda.

(Yusup Nurohman)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button