Sultan Razia: Perempuan Pertama Pemimpin Kerajaan Islam

Salafusshalih.com – Jalaluddin Razia atau populer dengan nama Sultan Razia merupakan putri dari seorang raja Kerajaan Islam di Delhi, Syamsuddin Iltutmish. Razia bukanlah seorang yang memiliki garis keturunan bangsawan ataupun terpandang. Dia adalah anak dari seorang budak utbuddin Aibak sultan Turki di Delhi.
Karena kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa, Iltutmish dengan cepat mendapatkan gelar perwira umum di angkatan darat. Mendapat pandangan baik dari kerajaan, Iltutmish dinikahkan dengan putri utbuddin Aibak. Tidak hanya sebagai prajurit, Iltutmish juga menunjukkan dirinya sebagai negarawan yang handal. Setelah kematian mertuanya, Iltutmish mendapatkan tahta warisan untuk memimpin kerajaan.
Razia dilahirkan pada tahun 1205 di Bedaun. Sebagaimana tradisi kerajaan, Razia mendapatkan didikan yang setara dengan saudara-saudaranya. Ilmu perang, keterampilan militer ia tekuni sebagaimana putra raja, bahkan ilmu tata kelola negara. Sejarah menceritakan bahwa Razia adalah seorang yang berbakat, pemberani, dan memiliki jiwa kebijaksanaan yang baik, meskipun ia seorang perempuan.
Tidak seperti perempuan sebayanya yang lebih sibuk dengan urusan perhiasan dan mempercantik diri, Razia tampil dengan busana dan model lelaki. Ia lebih memilih tampil seperti laki-laki karena menurutnya lebih menunjukkan jiwa maskulin sebagai pendekar perang.
Ia juga tidak segan-segan untuk menampakkan mukanya saat akan terjun ke medan perang. Tanpa adanya paksaan untuk mengikuti aturan, ia menjadi seorang pendekar perempuan yang aktif. Dan Razia adalah satu-satunya putri raja yang patuh dan membantu ayahnya dalam urusan negara.
Suatu ketika, terjadilah suatu pertempuran, hingga Iltutmish disibukkan dalam pengepungan Benteng Gwalior. Razia sebagai putri yang taat, ia mendapatkan amanah untuk menggantikan tahta kerajaan selama itu dan Iltutmish terkesan atas pemerintahan yang diembankan kepada putrinya saat itu.
Setelah itu, akhirnya Iltutmish menunjuk Razia untuk menjadi pewaris tahta kerajaan setelahnya. Banyak pertentangan dari para bangsawan yang menolak atas kepemimpinan dibawah kuasa seorang perempuan. Tetapi dari keturunan Iltutmish, Razia-lah yang pantes menjadi penerus raja.
Ketika ajal telah menjemput Iltutmish, Razia tidak langsung mendapatkan kedudukan tersebut. Ruknuddin, saudara Razia memperebutkan kursi kerajaan untuk diambil alih kuasa. Akan tetapi tidak lama kemudian, tujuh bulan berlangsung, Ruknuddin turun jaatan karena pemerintahannya tidak berjalan baik. Rakyatnya memberontak atas tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan sebagai pemimpin kerajaan. Pada akhirnya, Razia mendapatkan mandat untuk naik tahta menjadi seorang sultan Kerajan Delhi.
Razia mendapatkan gelar sultana yang artinya istri seorang sultan. Akan tetapi Razia menolak, Dia akan tetap menjadi raja dengan keunikannya mengenakan pakaian laki-laki yang ia rasa dapat membantu mempertahankan kerajaannya. Selama pemerintahan berlangsung, ia sukses menjalankan roda pemrintahannya. Ia berhasil menciptakan berbagai kemajuan dari berbgai bidang pendidikan, ekonomi, sosial,d dan budaya.
Membangun infrastruktur, perdagangan, sekolah hingga perguruan tinggi, dan perpustakaan negara. Tidak hanya itu, ia juga mempelajari dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, baik itu literature hindu, filsafat, sastra, astronomi, bahkan dalam bidang ilmu seni. Semua bidang keilmuan itu ia rujukkan kembali pada al-ur’an dan hadits.
Dalam kehidupanya, Razia dekat dengan seorang budak Siddi Afrika yang sedang naik pangkat menjadi bangsawan negeri. Ia adalah Jamaluddin Yaut. Namun, mereka menjalin hubungan dengan cara dia-diam. Disamping itu, Altunia, Gubernur Bhatinda, teman Razia sejak kecil, menentang huubungan tersebut, karena diam-diam ia juga menyukai Razia. Ketidakterimaan tersebut, akhirnya Altunia memberontak kerajaan Delhi atas dasar asmara dan membuhuh Yaut. Dan keadaan Razia sedang dipenjara oleh Altunia.
Pasca pemberontakan, Razia mundur dan diambil kekuasaannya oleh Muizzuddin Bahram sebagai penguasa Delhi. Kemudian Razia menikah dengan Altunia dan kembali merebut kekuasaan dari Bahram, akan tetapi mereka kalah dan keesokannya ia di hukum mati pada 14 Oktober 120. Meskipun pemerintahannya berlangsung secara singkat tiga tahun, namun perjuangan dan kemajuan-kemajuan yang sangat pesat ia capai sebagai pepimpin perempuan yang kokoh dan hebat.