Mujadalah

Tuna Etika Penceramah Radikal Salafi Mengindoktrinasi Kesesatan Melalui Masjid

Salafusshalih.com – Saya bertemu dengan Nasir Abbas, eks-Gubernur JI wilayah Filipina, sekaligus salah satu dari keempat pemateri dalam diskusi ilmiah di Masjid Baiturrahmah Ciputat kemarin. Dari Nasir, saya mendapat beberapa informasi tambahan. Tentang acara itu, atau tentang Salafi secara umum. Dan, mari saya lanjut dari pembahasan sebelumnya.

Pertama-tama penting untuk dijelaskan, acara di masjid kemarin tidak diformat sebagai debat, setidaknya tidak konfirmasi tentang itu. Debat yang Salafi lakukan di lokasi adalah dadakan, jebakan, murni untuk memojokkan. Masjid Baiturrahmah sendiri adalah masjid Salafi, dibangun oleh para tokoh Salafi, dan untuk menyebarkan Salafisme. Acara kemarin jelas merupakan agenda indoktrinasi: para eks-teroris dijadikan umpan, sementara para jemaah adalah korbannya.

Satu hal yang tak kalah penting juga untuk diutarakan, Ali Musri, yang vokal mendebat ketika itu, sengaja didatangkan dari Jawa Timur—sangat berniat untuk acara yang tidak terlalu formal. Namun, dari situ kita harus maklum, jurus Salafi untuk menipu dan menyesatkan umat memang demikian. Satu, dengan cara mendatangkan tokoh Salafi yang paling vokal dan, kedua, dengan menjebak. Mengapa harus jebakan? Karena mereka sadar bahwa jika lawan sama-sama siap, Salafi akan kalah.

Namun demikian, jebakan besarnya bukan di situ, melainkan di dalam upaya untuk membutakan umat akan Islam yang benar. Sama dengan Khalid Basalamah yang sebelum naik panggung dia sudah menelaah kitab-kitab Bin Wahhab cs, Ali Musri sebelum berdebat sudah sipa kitab-kitab Salafi. Ingat, hanya kitab Salafi, hanya karangan ulama Salafi. Tidak ada yang lain, tidak ada karya ulama mainstream Ahlussunnah, hanya dari Salafi. Sangat jelas untuk tujuan indoktrinasi, bukan?

Di sini akan saya bahas, bahwa persoalan utama Salafi adalah etika. Mencari ulama Salafi yang punya etika sangat sulit, kalau bukan mustahil. Semuanya setali tiga uang: ngebet, hitam-putih, mau menang sendiri, merasa paling benar, dan suka menyalahkan siapa pun yang berbeda. Di sini akan saya uraikan kebertautan intoleransi mereka dengan aksi teror. Selain untuk menyanggah klaim mereka bahwa Salafi bukan pelaku teror, status mereka sebagai penceramah radikal juga niscaya untuk diuraikan.

Salafi dan Penceramah Radikal

Sebagaimana disinggung pada seri sebelumnya, Salafi yang ada sekarang bukan buatan musuh mereka. Jika Khalid Basalamah menyanggah dikata Salafi, itu adalah pembodohan. Para tokoh Salafi megaku sendiri bahwa mereka Salafi. Demikian, karena, hari ini, Salafi telah menjadi mazhab tertentu. Salafi yang ada sekarang tidak benar-benar pengikut salaf al-shalih, hanya kamuflase untuk menutupi keradikalannya. Padahal, dari Salafi-lah, penceramah radikal bertumbuhan.

Penceramah radikal, sementara itu, tolok ukurnya adalah sejauh mana ia mendorong jemaah untuk merasa lebih benar, lebih saleh, dan lebih Islam dari yang lain, sambil menyalahkan dan menganggap sesat segala yang berbeda dengan mereka. Dari fondasi itu, penceramah radikal akan membawa jemaahnya pada iklim intoleran di tengah Indonesia yang majemuk. Artinya, paham Salafi mendorong perilaku nir-etika, tidak punya akhlak. Di situlah pengikutnya terjerumus radikalisme.

Penceramah radikal, yang beberapa waktu lalu diimbau Jokowi agar tak diundang mengisi kajian dan sejenisnya, memang tidak spesifik Salafi. Para aktivis HTI dan PKS, juga sisa-sisa FPI, masuk di dalam radar pelarangan tersebut. Namun siapa di antara Salafi, HTI, PKS, dan FPI yang paling konsen dengan dakwah? Semuanya hanya mengurus politik, dan hanya para tokoh Salafi yang paling serius berdakwah. Padahal, dakwah hitam-putih mereka sangat berbahaya.

Bahaya yang saya maksud ialah bahwa Salafi mengancam kebhinekaan. Padahal, Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu dari empat pilar kebangsaan. Meski tidak semua penceramah radikal menganut mazhab Salafi, semua Salafi mengajarkan Islam yang hitam-putih, keras, merasa paling saleh, paling benar. Semua perilaku radikal inilah yang mengakibatkan intoleransi dan mengancam Bhinneka Tunggal Ika. Dan dari intoleransi kemudian memantik terorisme.

Dari Intoleransi ke Terorisme

Semua aksi teror di dunia lahir dari, dan dilakukan oleh, orang-orang intoleran. Tetapi, tidak semua intoleransi akan berujung terorisme. Namun demikian, antara toleransi dan terorisme tidak bisa dipisahkan secara total dan sama sekali dihapus keterkaitannya. Logikanya, jika tidak semua orang intoleran dijamin akan jadi teroris, maka tidak semua orang intoleran juga terjamin selamat dari terorisme. Terhadap ini, Salafi memegang peran dominan.

Tadi sudah saya jelaskan, perilaku Salafi yang defisit moral, nir-etika, dan tidak berakhlak adalah biang keladi intoleransi. Tentu saja, tolok ukur etika di sini bukan dari lembuh-halus atau tidaknya cara bicara mereka. Faktanya ada Salafi yang suaranya harus, sopan, tapi kontennya menyudutkan orang lain. Jadi tolok ukur saya di sini, bahwa tokoh Salafi adalah penceramah radikal yang tak punya etika adalah ketertutupan dan keeksklusivan mereka—memandang yang berbeda sebagai bid’ah, sesat, dan kafir.

Saya sudah menguraikan pada seri sebelumnya, bagian mana dari Ali Musri sebagai Salafi, yang jauh dari akhlak. Ia dengan Abdurahmi Ayub, dan Salafi pengurus masjid, berkonspirasi melalui debat yang dikamuflase sebagai diskusi ilmiah. Mereka juga mengelak sebagai dalang teror, sembari menuduh santri dan pemuja kuburan—hinaan barbar khas Salafi untuk NU—sebagai aktor teror yang asli di Indonesia. Mereka, para Salafi, juga tak beretika karena menipu umat dengan topeng kemurnian Islam.

Ajaran-ajaran intoleran semacam itu yang diwariskan ke jemaah, yang disadari atau tidak melahirkan gen-gen dan mindset teror dalam diri mereka. Tanpa mengenyampingkan fakta bahwa terorisme merupakan fenomena global yang sistematis, Salafi adalah pewaris utama aksi-aksi teror sporadis yang lahir dari gagal paham jemaah, perilaku intoleran mereka, mindset radikalisme mereka, dan berakhir sebagai teror-teror mengerikan. Alur ini jelas dan nontafsir.

Terorisme lahir dari intoleransi adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Karenanya, menuduh santri dan secara khusus NU sebagai sumber teror atau kekerasan adalah tuduhan yang tidak punya dasar. Sebab, NU tidak mengajarkan jemaahnya untuk intoleran, sebaliknya mereka diajarkan untuk hidup harmoni di tengah keberagaman yang memang kehendak Tuhan.

Namun Salafi memang tukang tuduh: menuduh bid’ah hingga menuduh kafir—tuduhan yang lahir dari intoleransi yang ujung-ujungnya jelas akan jadi terorisme. Lalu apa yang harus dilakukan atas semua ini?

(Ahmad Khoiri)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button