Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman, Ikrar Setia Kepada NKRI Tidak Menjadikan Kita Kafir
Salafusshalih.com- “Ya Lal Wathon, Ya Lal Wathon , Ya Lal Wathon , Hubbul Wathon minal Iman, Wala Takun minal Hirman, Inhadlu Alal Wathon”.
Kalimat di atas tidak lain merupakan penggalan lirik lagu yang tidak asing bagi telinga kita yang hidup di Indonesia. Lagu tersebut biasanya dinyanyikan pada tiap-tiap acara. Warga NU khususnya, pasti tahu betul lagu di atas, sebab penulisnya adalah KH. Wahab Hasbullah salah satu pendiri NU (Nahdlatul Ulama).
Lagu di atas bukan sekedar lagu. Akan tetapi bisa menjadi penyemangat, peringatan, dan pemacu kesadaran bahwa cinta tanah air harus terus kita upayakan. Artinya sangat luas yakni: Pusaka hati wahai tanah airku, cintamu dalam imanku, jangan halangkan nasibmu bangkitlah hai bangsaku.
Melalui lagu tersebut, kiranya perlu dipahami bahwa cinta NKRI adalah bagian dari iman. Meskipun penisbahan tersebut tidak sahih, akan tetapi Quraish Shihab menjelaskan bukan berarti Islam tidak memerintahkan untuk cinta Tanah Air. Justru Al-Qur’an mensejajarkan agama dan Tanah air
Menurutnya, Tanah Air sangat kita butuhkan. Dia ibu pertiwi karena menyayangi, tidak kikir dengan segala apa yang dimiliki. Persis seperti ibu yang berkurban untuk anaknya. Jadi, siapapun yang berusaha untuk merusak negara Indonesia, perlu kita berantas sampai ke akar-akarnya.
Ikrar setia NKRI menurut teroris
Lain halnya dengan para teroris, kelompok radikal garis keras justru menganggap bahwa setia kepada NKRI adalah bentuk kekafiran. Berdasarkan pesan-pesan yang beredar pada Kamis 27 Januari 2022 pukul 08.30 WITA, Solihin (JAD Bima/eks Napiter MIT Poso) menyampaikan pesan yang berisi sindiran kepada istri-istri Iskandar (eks Napiter JAD Bima/telah ikrar setia NKRI) dengan menyebutnya BUCIN (Budak Cinta).
Menurut Solihin, istri-istri Iskandar telah melakukan zina dengan Iskandar karena telah kafir sejak melakukan ikrar setiap NKRI. Sejalan dengan hal itu, sepanjang tahun 2021, sebanyak 122 ikrar setia pada NKRI. Ikrar tersebut juga menjadi pembebasan bersyarat bagi Napiter.
Akan tetapi, bukan malah memberi dukungan untuk bersama-sama membangun negara, justru eks napiter itu dikafirkan oleh sesama temannya. Tulisan yang berjudul “Batasan Ikrah dalam Kekafiran” yang dialih bahasakan oleh Abu Sulaiman Al Arkhabiliy menjelaskan bahwa program bebas bersyarat merupakan bentuk pengkafiran yang nyata.
Dalam tulisan itu pula, pembebasan bersyarat disebutnya sebagai program pengkafiran karena sudah memperdaya para napiter untuk berikrar setia kepada NKRI. Dalam situasi tersebut, mereka pasti terpaksa untuk berikrar. Meskipun terpaksa, tetap saja itu kafir.
Apakah benar demikian adanya? Penjelasan tersebut dibantah oleh Qutaibah Al Bimawi dalam sebuah videonya. Ia menjelaskan bahwa ikrar setia kepada NKRI tidaklah kafir dan ia tidak dalam keadaan terpaksa untuk melakukan hal itu.
Membangun negara yang kuat harus disertai nasionalisme yang tinggi
Berbicara tentang membela dalam Al-Qur’an, kebanyakan redaksi yang kita temukan yakni Jihad Fii Sabilillah ( jihad di Jalan Allah). Maknanya sangat luas sekali. Membela kemungkaran, berjuang melawan hawa nafsu agar tidak menyakiti orang lain, dll. Melalui ayat itu pula, sebagian kelompok justru menghalalkan peperangan, membunuh yang tidak sejalan, orang kafir, seperti yang dilakukan oleh para teroris.
Jika di telisik lebih jauh, secara eksplisit isyarat tentang pentingnya membangun sebuah negara yang adil dan makmur di bawah Lindungan Allah Swt Yang Maha Pengampun (QS. Saba: 15) ditegaskan secara jelas.
Kita masih ingat bagaimana Kaum Saba’ memperjuangkan betul negaranya dengan pelbagai cara untuk menyelamatkan negerinya. Mereka melobi Sulaiman untuk membantu negaranya dari serangan penjajah yang akan memporak-porandakan negerinya. Kaum Saba’ tentu tidak mau jika negaranya diserang oleh kelompok luar, membuat onar, dan melakukan aksi kejahatan lainnya.
Upaya yang dilakukan oleh kaum Saba’ tidak lain karena mereka memiliki nasionalisme yang tinggi. Kecintaan terhadap negaranya menjadi semangat juat untuk mengusir orang-orang yang berupaya menyerang Tanah Airnya.
Melalui perumpamaan di atas, kiranya menjadi catatan besar bahwa untuk membangun negara kita yang tercinta ini, tidaklah dengan cara dan upaya yang sangat keji melalui perbuatan membunuh seperti yang dilakukan oleh para teroris.
Jika ingin membangun negara yang adil dan makmur, sejatinya bisa berpartisipasi, berkolaborasi untuk melakukan kebaikan kepada masyarakat, tanpa melihat latar belakang agama, ras, suku dan budaya. Cinta Tanah Air adalah kewajiban bangsa Indonesia dan kekafiran bukan disebabkan karena ikrar setia pada NKRI. Wallahu a’lam
(Muallifah)