Mujadalah

Kesalahan Teroris Dalam Menafsirkan Istilah Perang Dalam Al Quran

Salafusshalih.com. Mengapa banyak orang Islam terpapar paham radikal, padahal mereka sama-sama membaca teks Al-Qur’an? Pertanyaan ini memiliki kaitan dengan cara seseorang menafsirkan teks. Karena, membaca adalah langkah awal memasuki pintu penafsiran.

Saya punya cerita yang berhubungan dengan kasus orang Islam yang mudah terpapar radikalisme tadi. Setiap kali saya membaca, apalagi menyampaikan teks Al-Qur’an, saya selalu berhati-hati memahami kata “qatala” atau kata derivasinya yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Tadi malam di suatu forum tafsir saya membaca dan menyampaikan pesan ayat 54 dalam surah al-Baqarah yang menjelaskan teguran Nabi Musa kepada kaumnya yang menyembah patung anak sapi. Mereka ditegur sebagai orang yang zalim atau menganiaya dirinya sendiri. Sehingga, Nabi Musa menyarankan dua hal. Pertama, segera bertobat. Kedua, “uqtulu anfusakum“.

Saran Nabi Musa yang kedua dipahami dalam Tafsir al-Jalalain dengan membunuh jiwa orang yang berdosa. Kata “membunuh” terkesan berbahaya–jika enggan berkata “aksi teror“. Maka dari itu, saya coba cari tafsir yang lain dan saya temukan Tafsir Al-Mishbah yang ditulis Prof. Quraish Shihab. Katanya, “uqtulu” memiliki arti lain yaitu “menyalahkan“. Kala disederhanakan lagi, adalah “menegur“.

Jadi, jiwa yang bersalah alias berdosa, bukan dibunuh jiwanya. Tapi, ditegur sehingga teguran itu dapat membukakan hatinya kembali dengan bertobat kepada Tuhannya. Membunuh jiwa merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan. Karena, menjaga jiwa ini jauh lebih berharga dari pembunuhan.

Penafsiran yang dikemukakan oleh Prof. Quraish Shihab termasuk tafsir yang menyelamatkan seseorang dari paham radikal yang menggiring seseorang melakukan tindakan maha keji terorisme. Orang Islam terpapar terorisme sesungguhnya berawal dari penafsiran yang keliru sehingga berakibat pada perbuatannya yang keliru pula.

Lebih lanjut, mengapa harus jiwa yang ditegur? Dalam jiwa manusia terdapat dua nafsu yang satu mengajak kepada kebaikan dan satu yang lain mengajak kepada keburukan. Manusia yang mampu mengendalikan nafsunya, akan menjadi orang yang selamat dari perbuatan yang negatif (aksi-aksi terorisme). Karena itu, penting memerangi nafsu yang buruk tersebut.

Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam Minhaj al-Abidin, bahwa nafsu adalah musuh yang dicintai (aduwwun mahbubun). Karena dicintai itulah, nafsu dianggap sebagai musuh yang jauh lebih berbahaya dibanding musuh yang lain. Jika musuh yang lain jelas dibenci, tapi musuh yang berupa nafsu ini justru sangat dicinta. Dengan cinta inilah seseorang akan semakin dihinakan oleh nafsunya.

Tidak heran jika Nabi pernah menyampaikan kepada sahabat selepas pulang dari peperangan yang paling besar sepanjang hidup beliau, bahwa kita baru pulang dari perang yang kecil menuju perang yang besar. Sahabat terkejut dan bertanya-tanya, “Apa perang yang lebih besar lagi?” Nabi menjawab, “Perang yang besar adalah perang melawan hawa nafsu.”

Orang Islam yang terpapar paham radikal sampai melakukan aksi-aksi terorisme sesungguhnya mereka dihinakan oleh nafsunya sendiri. Mereka tidak mampu mengendalikan nafsu buruknya mengajak kepada perbuatan yang terlarang yaitu aksi-aksi teror. Seandainya mereka mampu memerangi nafsunya sendiri, mereka tidak bakal memerangi orang di luar dirinya.

Sebagai penutup, penting berhati-hati dalam memahami teks sensitif seperti kata “qatala” dalam Al-Qur’an. Salah memahami akan menghantarkan kepada perbuatan yang salah pula. Perbuatan itu merupakan implementasi dari pikiran.[] Shallallah ala Muhammad.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button