“Nyunnah” : Istilah Baru Ustadz Salafi-Wahabi Menipu Umat Islam di Indonesia
Salafusshalih.com – Di Indonesia, terutama bagi yang beragama Islam, apa yang tidak laku? Orang mengaku nabi, ada pengikutnya. Orang mengaku raja, ada pengikutnya. Orang mengaku bisa bicara dengan malaikat pun, ada saja yang percaya. Segala fenomena, betapa pun tidak masuk akalnya, selalu punya peluang untuk mendapat simpati. Apalagi fenomena keagamaan. Apalagi jika fenomena tersebut mengaku untuk kemaslahatan dan kebersihan agama, jelas, laku keras. Nyunnah, misalnya.
Sebenarnya, pada esai yang lalu, Memotong Silat Lidah Tokoh Salafi: Dari Wahabi ke Salaf ke Islam Murni, saya sudah pernah mengulas bahwa terjadi dinamika yang cukup signifikan dalam agenda Wahhabisasi global di Indonesia. Tesisnya tetap, sebagaimana disinyalir Ramadhan al-Buthi, bahwa penyebutan dari Wahhabi menjadi Salafi adalah bersifat politis. Mereka mengubur label Wahhabi yang terlanjur buruk, tidak disukai banyak pihak, menjadi ‘manhaj salaf’.
Artinya, Wahhabi kontemporer merupakan bentuk Wahhabi daur ulang dengan kemasan baru. Salafi, label baru itu, adalah sistematisasi pemikiran para dedengkot mereka, yakni Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taimiyyah dan ulama Wahhabi lainnya seperti Abdul Azis bin Baz dan Nashiruddin al-Albani. Namun kemasan baru tersebut di Indonesia didaur ulang kembali menjadi Nyunnah, yang akan dibahas di sini.
Nyunnah adalah istilah baru, yang sebenarnya tak benar-benar baru. Semua orang Islam terhadap sunnah, memiliki keterikatan yang niscaya. Dalam arti bahwa sebagai konskuensi logis keislaman kita, mengikuti sunnah adalah komitmen yang yang tak bisa ditawar. Nabi bersabda: Man raghiba ‘an sunnati fa laisa minni; Orang yang membenci sunnahku maka tidak termasuk golonganku. Sampai di sini, tak terkecuali, kita semua wajib bersunnah.
Tapi bersunnah dan Nyunnah seperti harus dibedakan. Faktanya, dalam prinsip bersunnah, kita tidak dilarang melakukan suatu amalan selama Nabi saw tidak melarangnya. Sementara itu, Nyunnah lebih berbau ideologis, yaitu “mengklaim diri paling sesuai sunnah sambil membid’ahkan, menyesatkan, dan mengafirkan siapapun di seluruh dunia yang tidak sesuai dengan, dan dianggap melenceng dari, mereka”. Nyunnah, bagi mereka adalah bahasa lain dari jadi tukang membid’ahkan.
Nyunnah Tukang Bid’ah
Pendeknya, prinsip Nyunnah adalah mengklaim sunnah dengan menebar fitnah. Abdul Qadir Jawas, salah satu dedengkot Salafi-Wahhabi yang paling aktif di Indonesia, misalnya. Setiap ceramah selalu menyalahkan kelompok lain seperti Muhammadiyah dan NU. Bagi Qadir Jawas, dalam prinsip Nyunnah-nya, berislam haruslah dalil. Dalil sendiri, baginya, bukan perkataan ulama, tetapi Al-Qur’an. Jika tidak maka ia menganggapnya salah total.
Para dai Salafi-Wahhabi menggunakan Nyunnah semacam itu untuk menipu, bahwa ajaran mereka paling konsekuen dengan Al-Qur’an dan hadis. Para dai Salafi-Wahhabi juga menggunakan Nyunnah sebagai kemasan baru menutupi identitas mereka sebagai Salafi-Wahhabi, mengelabui umat Islam di Indonesia agar tidak menyadari bahwa mereka adalah para antek-antek Arab Saudi dalam agenda Wahhabisasi global yang dananya miliaran.
Di hadapan Nyunnah, siapa yang bisa menolak? Umat Islam yang awam menganggap Nyunnah sebagai bersunnah ikut Nabi. Padahal, Nabi sendiri menegaskan berulang kali dalam hadis, bahwa daerah timur (Najed) akan menjadi tempat kegoncangan dan sumber fitnah. Beberapa ulama menakwil hadis tersebut, bahwa fitnah yang Nabi maksud ialah fitnah Salafi-Wahhabi. Mereka menebar fitnah dengan mengaku bersunnah, tapi memperburuk citra sunnah itu sendiri.
Bagaimana seseorang bisa mengklaim bersunnah sementara ia suka melaknat saudara Muslimnya sendiri? Mereka memfitnah sunnah Nabi. Mereka mengklaimnya sebagai konsekuensi teologis. Padahal sama sekali tidak. Itu adalah konsekuensi ideologis dari tetua mereka: Ibnu Abdul Wahhab. Mereka mengaku paling mengikuti sunnah Nabi, tapi seandainya mereka kuasa, mereka bahkan akan membongkar makam Nabi di Masjid Nabawi karena dianggap bid’ah dan sesat.
Di sini harus diperjelas untuk seluruh umat Islam agar tidak tertipu. Bersunnah adalah ikut Nabi, dan hukumnya wajib. Tapi Nyunnah bukan ikut Nabi, melainkan ikut lelakon Wahhabi. Prinsip Nyunnah ala dai Salafi-Wahhabi bahkan merasa lebih sunnah dari Nabi itu sendiri. Seluruh umat Islam dianggap bid’ah, sesat dan kafir. Tabarruk terhadap shaleh oleh mereka dianggap menyembah kuburan. Ziarah ke makam Nabi pun mereka anggap kesesatan.
Setelah demikian jelas, sekarang kita perlu berefleksi. Mengapa Nyunnah sebagai siasat buruk dai Salafi-Wahhabi menipu umat Islam di Indonesia terus laku? Jawabannya jelas: selain karena mereka masif, umat Islam di negara ini banyak yang terlalu polos.
Kepolosan Umat Islam di Indonesia
Lugu dan polos. Umat Islam di Indonesia sudah lama ditipu para dai Salafi-Wahhabi. Dekade 1970-an, umat Islam Indonesia mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai studi para mahasiswa belajar keluar negeri. Kesempatan itu diambil Wahhabi dengan menyediakan dana besar melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Banyak mahasiswa dikuliahkan ke Arab Saudi juga, dan banyak buku dan penerbit yang agendanya adalah Wahhabisasi.
Walaupun tidak berbentuk lembaga secara formal, tetapi mereka terus meningkatkan dan menguatkan jaringan dan keilmuan melalui majelis-majelis taklim. Mereka berupaya melakukan pemurnian ajaran agama Islam dengan mengharamkan tahlil, ziarah, shalawatan, istighasah dan sebagainya, mendestruksi tradisi yang sudah mapan, dan menyalahkan semua orang yang tidak sepaham. Nyunnah sejenis itu yang sukses menipu umat Islam Indonesia.
Salafi-Wahhabi punya segalanya. Filantropi transnasional berdatangan; mereka punya banyak media mulai dari majalah, buku, penerbit, radio, kanal TV, dan sebagainya untuk mengasongkan prinsip Nyunnah yang justru menyalahi sunnah itu sendiri. Tapi baju Wahhabi mereka buang. Baju Salafi mereka buang. Mereka menipu seluruh umat Islam di Indonesia dengan Nyunnah; membid’ahkan-mengafirkan orang lain di tengah kepolosan dan keluguan umat Islam di seluruh Indonesia.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Ahmad Khoiri)