Renungan di Hari Kesaktian Pancasila: Pancasila dan Tantangan Radikalisme

Salafusshalih.com – Kemarin saya mengantar mahasiswa tafsir ke Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ). Pemateri dari lembaga tersebut memulai dengan sebuah pertanyaan, “Sekarang tanggal berapa? Dan, bertepatan dengan hari nasional apa?” Setelah mahasiswa memberikan berbagai jawaban, pemateri menegaskan bahwa hari ini adalah 1 Oktober, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Mendengar Hari Kesaktian Pancasila disebutkan, saya langsung tersentak. Saya sempat lupa dengan hari yang istimewa ini, di mana nilai-nilai Pancasila kembali diingat dan dikenang, terutama dalam konteks keberagaman masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi fondasi yang memungkinkan masyarakat yang plural—dengan pemikiran dan keyakinan berbeda—untuk bertemu, bergandengan, dan hidup berdampingan secara harmonis.
Melalui Pancasila, masyarakat plural Indonesia tidak terpecah belah. Mereka saling menghormati pemikiran dan keyakinan satu sama lain selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Indonesia mengedepankan prinsip moderasi, yang berupaya merangkul perbedaan pemikiran, baik dari golongan Sunni, Syiah, maupun lainnya. Di atas itu semua, Indonesia menjunjung tinggi nilai toleransi, menghargai keberagaman agama.
Moderasi dan toleransi ini sangat jelas tercermin dalam sila-sila Pancasila. Moderasi, misalnya, dapat dilihat dalam prinsip keadilan dan kerakyatan yang termaktub dalam sila-sila tersebut. Keadilan harus dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia, tanpa terkecuali. Begitu pula dengan toleransi beragama, yang tergambar dalam sila pertama: selama seseorang percaya pada keesaan Tuhan, agama apa pun dapat diterima.
Prinsip moderasi dan toleransi ini juga merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Islam dikenal sebagai agama moderat yang mengusung nilai-nilai rahmah (kasih sayang) dan ramah, bukan kekerasan atau ekstremisme. Selain itu, Islam sangat menekankan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain.
Sikap moderat ini bisa dilihat dari ajaran Islam yang menganjurkan musyawarah. Contohnya, Ratu Balqis yang berdiskusi dengan para pengawalnya sebelum bertemu Nabi Sulaiman. Nabi Muhammad juga pernah menerima undangan dari Bahira, seorang tokoh Nasrani, dan berdiskusi dengannya tanpa menghalangi perbedaan agama.
Pada Hari Kesaktian Pancasila ini, masyarakat Indonesia diingatkan untuk waspada terhadap paham-paham yang merusak kesatuan bangsa. Paham radikal yang mengancam eksistensi Pancasila harus dilawan. Kelompok radikal yang kerap melakukan provokasi dan aksi terorisme, baik dari pihak yang menyandang status ustaz maupun oknum kepolisian, adalah musuh nyata Pancasila.
Radikalisme adalah ancaman yang tidak bisa dibiarkan. Jika dibiarkan tumbuh, masa depan Indonesia bisa terancam. Radikalisme dapat merusak negara dari dalam, bahkan lebih berbahaya daripada penjajahan fisik seperti yang pernah dilakukan Jepang dan Belanda.
Pada Hari Kesaktian Pancasila ini, masyarakat Indonesia seharusnya memperbarui ikrar untuk selalu menjaga tegaknya Pancasila. Ikrar ini bukan sekadar janji, tetapi komitmen yang harus dijaga sepanjang masa. Seperti ikrar dalam pernikahan yang merupakan ikatan suci, ikrar menjaga Pancasila harus sesuai antara hati dan ucapan. Jangan sampai berbeda, karena itu adalah sikap munafik.
Sebagai penutup, Hari Kesaktian Pancasila merupakan momen penting dalam setahun. Jangan sampai kita melewatkan atau melupakan momen ini. Mengabaikannya sama saja dengan tidak tahu berterima kasih, seperti anak durhaka yang lupa pada orang tuanya yang telah berjuang keras melahirkan dan membesarkan.
(Khalilullah)