Menyikapi Perselisihan Yaqut Cholil Qoumas (NU) dan Anwar Abbas (Muhammadiyah) Secara Moderat
Salafusshalih.com. Beberapa hari yang lalu, tepatnya momen Hari Santri Nasional, Menag Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU). Pernyataan tersebut terkesan kurang menghargai kelompok masyarakat lainnya.
Indonesia ini dibangun bukan hanya oleh orang NU tetapi juga oleh orang yang aktif beberapa organisasi yang lain yang masih bersikap moderat, semisal Muhammadiyah, Persis, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan, Indonesia ini juga dibangun oleh non-muslim yang jelas tidak bergabung dalam organisasi keagamaan tersebut.
Sejauh yang saya ikuti, baik mulai menjabat Menag sampai sekarang, Gus Yaqut sering menyuarakan pentingnya moderasi di tengah masyarakat yang majemuk. Ide-ide yang disampaikan tentu sangat bersesuaian dengan spirit Kebhinekaan Indonesia. Gus Yaqut selalu menyampaikan sesuatu secara objektif tanpa memihak satu pihak tertentu. Meski, Gus Yaqut sendiri sebelumnya menjabat sebagai ketua umum Anshor (sayap NU).
Tulisan ini tidak mempersoalkan rekam jejak Gus Yaqut. Tulisan ini hadir hanya sebatas menagih konsistensi Gus Yaqut dalam berpikir objektif dalam mengambil sebuah keputusan dan menyampaikan gagasan. Gus Yaqut sekarang berbicara bukan sebagai Ketum Anshor, tetapi sebagai Menag yang menghadapi warna-warni perbedaan.
Gus Yaqut hendaknya tidak membawa NU dalam kontestasi perpolitikan, karena NU sendiri didirikan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari bukan untuk dijadikan kendaraan berpolitik, tapi NU dijadikan sebagai media untuk membantu masyarakat selamat dari paham radikal. Sebab, di dalam NU sendiri terdapat pemahaman moderasi.
Karena, ibarat nasi sudah jadi bubur, Gus Yaqut hendaknya menarik alias merevisi pernyataan sensitif tersebut. Kalau tidak bisa merevisi, bisa memberikan pernyataan baru yang menghapus pernyataan sebelumnya. Istilahnya, pernyataan baru ini sebagai qaul jadid yang biasanya dilakukan Imam Syafii yang berlawanan atas pernyataan yang sebelumnya atau yang disebut dengan qaul qadim.
Kesalahan dalam berpendapat itu merupakan sesuatu yang wajar. Gus Yaqut itu manusia yang bisa jadi khilaf. Bukankah ada sebauh ibarah: Al-Insan mahal al-khatha’ wa an-nisyan. Manusia tempat salah dan lupa. Sebagai muslim yang baik kita cukup berprasangka baik bahwa pernyataan Gus Yaqut tersebut adalah sebuah kekhilafan.
Prasangka baik terhadap pernyataan Gus Yaqut tadi mungkin lebih baik dibanding komentar keras yang disampaikan oleh Tokoh Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas. Abbas mengkritik Gus Yaqut, bahwa Kementerian Agama lebih baik dibubarkan saja. Karena akan membuat gaduh di mana mudaratnya pasti akan jauh lebih besar dari manfaatnya.
Komentar keras bin pedas yang disampaikan Abbas merupakan sesuatu yang wajar. Sebagai tokoh Muhammadiyah Abbas sangat sakit hati, bahwa organisasi yang diagung-agungkan diperlakukan sebagai anak tiri. Tentu, pembubaran Kemenag adalah impian yang sangat baik baginya dan orang Muhammadiyah yang lain.
Di samping itu, Muhammadiyah dan NU saling senggol sana-senggol sini. Dua ormas besar ini memang didirikan oleh dua ulama yang saling berteman dan satu guru, tapi penerusnya sering berantem demi kepentingan pribadi yang mengatasnamakan organisasi. Pengikut kedua ormas ini saling mencela soal ibadah sunnah, semisal tidak baca Qunut subuh dan masih banyak yang lain. Mereka di laga perpolitikan saling bermusuhan.
Maka dari itu, tulisan ini ingin mempertemukan dua kubu yang saling berselisih karena persoalan sepele, meski dampaknya besar. Gus Yaqut cukup mengakui kesalahannya dan Abbas berdamai dengan kenyataan. Menghentikan perselisihan antar kedua tokoh ini akan mengantar pada Indonesia maju.
(Redaksi)